Munir Said Thalib lahir di Malang, Jawa Timur, tanggal 8 Desember 1965. Pria keturunan Arab ini beristrikan seorang wanita Jawa, Suciwati. Pernikahannya dengan wanita yang pernah ia bela dalam sengketa perburuhan ini menghasilkan dua orang putra. Di tengah kehidupan keluarganya yang bersahaja, Munir dikenal gemar bercanda serta menyayangi anak dan istrinya.
Munir adalah seorang sarjana S-1 lulusan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Sejak kuliah, ia aktif berorganisasi. Di kampusnya, antara lain, ia aktif dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan menjadi ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (1989). Munir merupakan aktivis organisasi. Di luar kampus, ia menjadi sekretaris Al-Irsyad Kabupaten Malang (1988), anggota Divisi Legal Komite Solidaritas untuk Marsinah, dan Sekretaris Tim Pencari Fakta Forum Indonesia Damai.
1. Pembela Hak Asasi Manusia yang Gigih
Sebagai sarjana hukum, perhatian Munir hampir seluruhnya tercurah pada upaya pembelaan kalangan masyarakat yang tertindas dan terpinggirkan. Setelah lulus kuliah, ia menjadi sukarelawan LBHI (Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) Surabaya (1989). Kegigihan dan konsistensinya dalam memberi advokasi kepada kaum tertindas mengantarkannya pada jabatan-jabatan penting dalam lembaga pembelaan hukum dan hak asasi manusia. Berturut-turut ia menjadi ketua LBHI Pos Malang, koordinator divisi pembunuhan dan divisi hak sipil politik LBHI Surabaya (1992-1993), kepala bidang operasional LBHI Surabaya (1993-1995), direktur LBHI Semarang (1996), sekretaris bidang operasional YLBHI (1996), wakil ketua bidang operasional YLBHI (1997), wakil ketua dewan pengurus YLBHI (1998), koordinator badan pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau Kontras (1998-2001), direktur eksekutif lembaga pemantau HAM Indonesia Imparsial, serta ketua dewan pengurus Kontras (2001).
Sejak awal tahun 1990-an, nama Munir mulai populer sebagai aktivis hak asasi manusia. Dalam suasana kehidupan represif akibat pemerintahan Orde Baru yang otoriter, Munir mulai menempuh jalan berbahaya: menjadi pembela dan penasihat hukum orang-orang yang dituduh membangkang terhadap kebijakan rezim Orde Baru. Ia memberikan advokasi kepada beberapa tokoh kritis dan vokal, seperti Sri Bintang Pamungkas, Muchtar Pakpahan, Dita Indah Sari, dan Coen Husen Pontoh dalam kasus subversif –– kasus yang saat itu tergolong sangat serius. Munir, antara lain, juga menjadi penasihat hukum George Aditjondro yang dituduh menghina pemerintah serta memberikan pembelaan hukum kepada masyarakat Tanjungpriok (Jakarta) dan masyarakat Nipah (Madura) –– masyarakat di kedua tempat ini merupakan korban pembantaian militer Orde Baru.
Reputasi Munir kemudian melambung tinggi pada akhir dekade 1990-an. Di tengah krisis ekonomi, politik, dan hukum tahun 1997 dan 1998 serta gencarnya praktik kesewenang-wenangan rezim Orde Baru terhadap para aktivis prodemokrasi dan proreformasi, Munir menjelma menjadi tokoh muda pembela hak asasi manusia fenomenal yang tak tertandingi. Dalam kapasitas sebagai koordinator Kontras, ia menjadi pembela dan penasihat hukum 24 aktivis prodemokrasi dan proreformasi korban penculikan, penyiksaan, dan penghilangan paksa militer Orde Baru. Pada masa-masa itu, publik Indonesia dibuat takjub dan terpana oleh keberanian dan konsistensi Munir dalam melakukan pendampingan dan pembelaan kepada para korban penindasan rezim Orde Baru.
Munir tidak melakukan pembelaan dan advokasi hak asasi manusia secara konvensional. Ia tak melulu melakukan konsultasi dengan para korban pelanggaran hak asasi manusia atau sekadar duduk sebagai pembela bagi para korban di ruang sidang pengadilan. Ia terkenal memiliki sikap yang vokal dan kritis terhadap rezim Orde Baru. Munir sering melancarkan kritik yang tajam dan terukur secara terbuka terhadap kebijakan-kebijakan Orde Baru yang melanggar hak asasi manusia. Melalui berbagai forum resmi dan ilmiah, Munir juga tidak jarang mengemukakan pemikirannya yang kritis dan berbobot tentang upaya perbaikan hak asasi manusia di Indonesia.
Perjuangan Munir yang konsisten serta tak mengenal rasa takut dan lelah dalam membela kalangan tertindas di sisi satu mengundang simpati masyarakat luas serta di sisi lain membuat kecut dan khawatir rezim Orde Baru. Ancaman dan teror yang berkali-kali dilancarkan aparat Orde Baru kepadanya tidak menyurutkan niatnya untuk terus memberikan pendampingan dan pembelaan kepada para korban kesewenang-wenangan rezim penguasa. Bagi rezim Orde Baru, Munir dirasakan sebagai “ancaman” yang dapat mengganggu kredibilitas dan kekuasaan mereka. Namun, di mata publik kebanyakan –– yang di bawah pemerintahan Orde Baru hidup dalam tekanan dan kekangan –– Munir dianggap sebagai pejuang dan pendekar hak asasi manusia sejati yang berjasa menetralisasi kesewenang-wenangan rezim Orde Baru sekaligus membuka simpul-simpul kebebasan.
Untuk jasa-jasanya yang langka itu, Munir banyak mendapat pujian dan penghargaan. Berbagai lembaga kemanusiaan dari dalam dan luar negeri menganugerahi pria bersahaja ini dengan sejumlah penghargaan. Sebuah lembaga di Swedia memberinya penghargaan Right Livelihood Award 2000 untuk pengabdian bidang kemajuan hak asasi manusia dan kontrol sipil terhadap militer serta Unesco (PBB) menganugerahinya penghargaan Mandanjeet Sing Prize untuk jasanya mempromosikan toleransi dan anti kekerasan (2000). Majalah Ummat, Jakarta, menobatkannya sebagai Man of The Year 1998, majalah Asiaweek memberinya penghargaan sebagai Pemimpin Politik Muda Asia pada Milenium Baru (1999), dan Aliansi Jurnalis Independen memberikan penghargaan Suardi Tasrif Awards (1998). Pada tahun 1998, Pusat Studi Hak Asasi Manusia juga menetapkan Munir dan Kontras sebagai penerima Yap Thiam Hien Award, penghargaan prestisius dalam bidang penegakan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.
2. Meruntuhkan Asumsi Umum tentang Keberanian dan Perjuangan
Figur Munir sering menimbulkan keraguan tentang hubungan antara ukuran fisik dengan keberanian dan kepahlawanan seseorang. Keberanian dan kepahlawanan seseorang senantiasa dikait-kaitkan dengan ukuran dan tampilan tubuh: bahwa seorang pemberani dan berjiwa pahlawan lazimnya memiliki tubuh yang tinggi, besar, serta kekar berotot. Dilihat dari kriteria ini, Munir tidak masuk hitungan atau diragukan dapat menjadi seorang pemberani, pejuang, dan pahlawan karena tubuhnya kecil lagi kurus.
Namun, siapa pun akhirnya tidak dapat membantah bahwa Munir (ternyata) merupakan sosok yang “besar”. Tubuhnya memang kecil, tetapi ia mampu membuktikan dengan kinerja nyata bahwa keberanian dan kejuangannya sungguh besar. Munir menjadi satu dari sangat sedikit orang yang dapat meruntuhkan asumsi umum bahwa untuk menjadi pemberani dan pejuang dalam melawan kesewenang-wenangan penguasa, seseorang harus atau perlu memiliki postur fisik yang ideal: tinggi, besar, atletis, dan kuat. Dengan sangat baik Munir memperlihatkan, kendatipun ia tidak mempunyai ukuran tubuh seorang pemberani dan pahlawan, ia mampu menjadi pejuang nilai-nilai kemanusiaan di tengah kepungan dan gempuran kesewenang-wenangan penguasa. Munir mampu menjadi pembela hak asasi manusia yang baik dengan keterbatasan-keterbatasan fisik yang dimilikinya.
Munir dapat menjadi pejuang hak asasi manusia yang tangguh tidak dengan mengandalkan kekuatan fisik, melainkan lebih dengan tekad, semangat, dan gagasan. Ia juga dapat menjadi aktivis yang kebal ancaman dan teror karena selain memiliki nyali yang luar biasa, ia juga memiliki kepedulian dan empati yang besar terhadap orang-orang yang haknya terampas dan tertindas. Apa yang dilakukan Munir selama hidupnya kiranya tidak ia maksudkan untuk mendapat pengakuan dan penghargaan publik, melainkan sebagai wujud panggilan tugas dan hati nurani.
Seperti halnya yang dilakukan Munir, perjuangan dengan modal panggilan tugas dan hati nurani seringkali justru meletupkan energi sangat besar yang sulit sekali dihentikan. Kendatipun dicoba dibendung dengan kekuatan fisik yang besar atau bahkan dengan barisan pasukan dan senjata yang mematikan, perjuangan semacam itu akan terus menyeruak ke depan. Intimidasi, teror, peluru, atau apa pun sulit sekali digunakan untuk menghentikannya.
3. Pahlawan Hak Asasi Manusia
Munir aktif dalam upaya penegakan dan perlindungan hak asasi manusia sampai akhir hayatnya. Ia meninggal dunia pada 7 September 2004 akibat pembunuhan. Dalam perjalanan dari Jakarta ke Amsterdam, Belanda, untuk meneruskan studi pascasarjana ilmu hukum, ia diracun dengan arsenik yang dibubuhkan ke dalam makanan yang dihidangkan kepadanya di dalam pesawat. Kepastian mengenai kematiannya yang disebabkan pembunuhan dengan racun diperoleh melalui penyelidikan dan visum yang dilakukan kepolisian Belanda serta sidang pengadilan kasusnya yang menghadirkan beberapa terdakwa sebagai pelaku pembunuhan.
Berbagai kalangan yakin, kematian Munir terkait dengan upaya perlindungan dan penegakan hak asasi manusia yang gigih ia lakukan. Beberapa oknum mantan petinggi militer Orde Baru yang menaruh dendam banyak disebut sebagai otak pelaku pembunuhan. Mereka mencoba menghentikan sepak terjang Munir dengan berbagai cara, termasuk dengan menghabisinya. Sampai saat menjelang kematiannya, Munir memang vokal menyebut militer Orde Baru sebagai pelaku banyak pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia serta penghalang terbesar dalam upaya perlindungan dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia.
Kematian Munir yang diakibatkan oleh pembunuhan membuktikan bahwa Munir sangat sulit dihentikan dengan cara apa pun dan oleh siapa pun dalam memperjuangkan tegaknya hak asasi manusia di negeri ini. Hanya kematian yang dapat menghentikannya dari upaya mulia memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Akan tetapi, pembunuhan yang ditujukan pada Munir kiranya tidak dapat “membuat mati” semua hal yang dimiliki dan dilakukan Munir.
Berbagai upaya yang dilakukan Munir sebelum kematiannya sudah telanjur membekas serta menebarkan benih-benih perjuangan penegakan hak asasi manusia pada banyak kalangan. Benih-benih itu tumbuh dan bermekaran setelah kematiannya yang tragis. Di mata banyak sahabat, kolega, dan kalangan masyarakat yang pernah merasakan sentuhan pembelaan Munir, jiwa dan semangat Munir tidak dapat dimatikan. Mereka menyatakan akan berjuang terus melanjutkan upaya-upaya yang sudah dirintis almarhum.
Bagi mereka, Munir telah berjasa membangkitkan kesadaran hak asasi manusia masyarakat, menggerakkan semangat dan keberanian masyarakat untuk melawan penindasan, serta meletakkan fondasi model dan upaya perbaikan dan pemajuan hak asasi manusia di Indonesia. Di mata mereka, Munir merupakan salah satu tokoh dan tulang punggung upaya perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia di Indonesia. Bagi mereka, apa yang dilakukan Munir selama ini sudah memadai untuk menjadikannya sebagai pahlawan sejati hak asasi manusia, yang perjuangannya harus dan akan terus dilanjutkan.
Munir adalah seorang sarjana S-1 lulusan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Sejak kuliah, ia aktif berorganisasi. Di kampusnya, antara lain, ia aktif dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan menjadi ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (1989). Munir merupakan aktivis organisasi. Di luar kampus, ia menjadi sekretaris Al-Irsyad Kabupaten Malang (1988), anggota Divisi Legal Komite Solidaritas untuk Marsinah, dan Sekretaris Tim Pencari Fakta Forum Indonesia Damai.
1. Pembela Hak Asasi Manusia yang Gigih
Sebagai sarjana hukum, perhatian Munir hampir seluruhnya tercurah pada upaya pembelaan kalangan masyarakat yang tertindas dan terpinggirkan. Setelah lulus kuliah, ia menjadi sukarelawan LBHI (Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) Surabaya (1989). Kegigihan dan konsistensinya dalam memberi advokasi kepada kaum tertindas mengantarkannya pada jabatan-jabatan penting dalam lembaga pembelaan hukum dan hak asasi manusia. Berturut-turut ia menjadi ketua LBHI Pos Malang, koordinator divisi pembunuhan dan divisi hak sipil politik LBHI Surabaya (1992-1993), kepala bidang operasional LBHI Surabaya (1993-1995), direktur LBHI Semarang (1996), sekretaris bidang operasional YLBHI (1996), wakil ketua bidang operasional YLBHI (1997), wakil ketua dewan pengurus YLBHI (1998), koordinator badan pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau Kontras (1998-2001), direktur eksekutif lembaga pemantau HAM Indonesia Imparsial, serta ketua dewan pengurus Kontras (2001).
Sejak awal tahun 1990-an, nama Munir mulai populer sebagai aktivis hak asasi manusia. Dalam suasana kehidupan represif akibat pemerintahan Orde Baru yang otoriter, Munir mulai menempuh jalan berbahaya: menjadi pembela dan penasihat hukum orang-orang yang dituduh membangkang terhadap kebijakan rezim Orde Baru. Ia memberikan advokasi kepada beberapa tokoh kritis dan vokal, seperti Sri Bintang Pamungkas, Muchtar Pakpahan, Dita Indah Sari, dan Coen Husen Pontoh dalam kasus subversif –– kasus yang saat itu tergolong sangat serius. Munir, antara lain, juga menjadi penasihat hukum George Aditjondro yang dituduh menghina pemerintah serta memberikan pembelaan hukum kepada masyarakat Tanjungpriok (Jakarta) dan masyarakat Nipah (Madura) –– masyarakat di kedua tempat ini merupakan korban pembantaian militer Orde Baru.
Reputasi Munir kemudian melambung tinggi pada akhir dekade 1990-an. Di tengah krisis ekonomi, politik, dan hukum tahun 1997 dan 1998 serta gencarnya praktik kesewenang-wenangan rezim Orde Baru terhadap para aktivis prodemokrasi dan proreformasi, Munir menjelma menjadi tokoh muda pembela hak asasi manusia fenomenal yang tak tertandingi. Dalam kapasitas sebagai koordinator Kontras, ia menjadi pembela dan penasihat hukum 24 aktivis prodemokrasi dan proreformasi korban penculikan, penyiksaan, dan penghilangan paksa militer Orde Baru. Pada masa-masa itu, publik Indonesia dibuat takjub dan terpana oleh keberanian dan konsistensi Munir dalam melakukan pendampingan dan pembelaan kepada para korban penindasan rezim Orde Baru.
Munir tidak melakukan pembelaan dan advokasi hak asasi manusia secara konvensional. Ia tak melulu melakukan konsultasi dengan para korban pelanggaran hak asasi manusia atau sekadar duduk sebagai pembela bagi para korban di ruang sidang pengadilan. Ia terkenal memiliki sikap yang vokal dan kritis terhadap rezim Orde Baru. Munir sering melancarkan kritik yang tajam dan terukur secara terbuka terhadap kebijakan-kebijakan Orde Baru yang melanggar hak asasi manusia. Melalui berbagai forum resmi dan ilmiah, Munir juga tidak jarang mengemukakan pemikirannya yang kritis dan berbobot tentang upaya perbaikan hak asasi manusia di Indonesia.
Perjuangan Munir yang konsisten serta tak mengenal rasa takut dan lelah dalam membela kalangan tertindas di sisi satu mengundang simpati masyarakat luas serta di sisi lain membuat kecut dan khawatir rezim Orde Baru. Ancaman dan teror yang berkali-kali dilancarkan aparat Orde Baru kepadanya tidak menyurutkan niatnya untuk terus memberikan pendampingan dan pembelaan kepada para korban kesewenang-wenangan rezim penguasa. Bagi rezim Orde Baru, Munir dirasakan sebagai “ancaman” yang dapat mengganggu kredibilitas dan kekuasaan mereka. Namun, di mata publik kebanyakan –– yang di bawah pemerintahan Orde Baru hidup dalam tekanan dan kekangan –– Munir dianggap sebagai pejuang dan pendekar hak asasi manusia sejati yang berjasa menetralisasi kesewenang-wenangan rezim Orde Baru sekaligus membuka simpul-simpul kebebasan.
Untuk jasa-jasanya yang langka itu, Munir banyak mendapat pujian dan penghargaan. Berbagai lembaga kemanusiaan dari dalam dan luar negeri menganugerahi pria bersahaja ini dengan sejumlah penghargaan. Sebuah lembaga di Swedia memberinya penghargaan Right Livelihood Award 2000 untuk pengabdian bidang kemajuan hak asasi manusia dan kontrol sipil terhadap militer serta Unesco (PBB) menganugerahinya penghargaan Mandanjeet Sing Prize untuk jasanya mempromosikan toleransi dan anti kekerasan (2000). Majalah Ummat, Jakarta, menobatkannya sebagai Man of The Year 1998, majalah Asiaweek memberinya penghargaan sebagai Pemimpin Politik Muda Asia pada Milenium Baru (1999), dan Aliansi Jurnalis Independen memberikan penghargaan Suardi Tasrif Awards (1998). Pada tahun 1998, Pusat Studi Hak Asasi Manusia juga menetapkan Munir dan Kontras sebagai penerima Yap Thiam Hien Award, penghargaan prestisius dalam bidang penegakan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.
2. Meruntuhkan Asumsi Umum tentang Keberanian dan Perjuangan
Figur Munir sering menimbulkan keraguan tentang hubungan antara ukuran fisik dengan keberanian dan kepahlawanan seseorang. Keberanian dan kepahlawanan seseorang senantiasa dikait-kaitkan dengan ukuran dan tampilan tubuh: bahwa seorang pemberani dan berjiwa pahlawan lazimnya memiliki tubuh yang tinggi, besar, serta kekar berotot. Dilihat dari kriteria ini, Munir tidak masuk hitungan atau diragukan dapat menjadi seorang pemberani, pejuang, dan pahlawan karena tubuhnya kecil lagi kurus.
Namun, siapa pun akhirnya tidak dapat membantah bahwa Munir (ternyata) merupakan sosok yang “besar”. Tubuhnya memang kecil, tetapi ia mampu membuktikan dengan kinerja nyata bahwa keberanian dan kejuangannya sungguh besar. Munir menjadi satu dari sangat sedikit orang yang dapat meruntuhkan asumsi umum bahwa untuk menjadi pemberani dan pejuang dalam melawan kesewenang-wenangan penguasa, seseorang harus atau perlu memiliki postur fisik yang ideal: tinggi, besar, atletis, dan kuat. Dengan sangat baik Munir memperlihatkan, kendatipun ia tidak mempunyai ukuran tubuh seorang pemberani dan pahlawan, ia mampu menjadi pejuang nilai-nilai kemanusiaan di tengah kepungan dan gempuran kesewenang-wenangan penguasa. Munir mampu menjadi pembela hak asasi manusia yang baik dengan keterbatasan-keterbatasan fisik yang dimilikinya.
Munir dapat menjadi pejuang hak asasi manusia yang tangguh tidak dengan mengandalkan kekuatan fisik, melainkan lebih dengan tekad, semangat, dan gagasan. Ia juga dapat menjadi aktivis yang kebal ancaman dan teror karena selain memiliki nyali yang luar biasa, ia juga memiliki kepedulian dan empati yang besar terhadap orang-orang yang haknya terampas dan tertindas. Apa yang dilakukan Munir selama hidupnya kiranya tidak ia maksudkan untuk mendapat pengakuan dan penghargaan publik, melainkan sebagai wujud panggilan tugas dan hati nurani.
Seperti halnya yang dilakukan Munir, perjuangan dengan modal panggilan tugas dan hati nurani seringkali justru meletupkan energi sangat besar yang sulit sekali dihentikan. Kendatipun dicoba dibendung dengan kekuatan fisik yang besar atau bahkan dengan barisan pasukan dan senjata yang mematikan, perjuangan semacam itu akan terus menyeruak ke depan. Intimidasi, teror, peluru, atau apa pun sulit sekali digunakan untuk menghentikannya.
3. Pahlawan Hak Asasi Manusia
Munir aktif dalam upaya penegakan dan perlindungan hak asasi manusia sampai akhir hayatnya. Ia meninggal dunia pada 7 September 2004 akibat pembunuhan. Dalam perjalanan dari Jakarta ke Amsterdam, Belanda, untuk meneruskan studi pascasarjana ilmu hukum, ia diracun dengan arsenik yang dibubuhkan ke dalam makanan yang dihidangkan kepadanya di dalam pesawat. Kepastian mengenai kematiannya yang disebabkan pembunuhan dengan racun diperoleh melalui penyelidikan dan visum yang dilakukan kepolisian Belanda serta sidang pengadilan kasusnya yang menghadirkan beberapa terdakwa sebagai pelaku pembunuhan.
Berbagai kalangan yakin, kematian Munir terkait dengan upaya perlindungan dan penegakan hak asasi manusia yang gigih ia lakukan. Beberapa oknum mantan petinggi militer Orde Baru yang menaruh dendam banyak disebut sebagai otak pelaku pembunuhan. Mereka mencoba menghentikan sepak terjang Munir dengan berbagai cara, termasuk dengan menghabisinya. Sampai saat menjelang kematiannya, Munir memang vokal menyebut militer Orde Baru sebagai pelaku banyak pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia serta penghalang terbesar dalam upaya perlindungan dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia.
Kematian Munir yang diakibatkan oleh pembunuhan membuktikan bahwa Munir sangat sulit dihentikan dengan cara apa pun dan oleh siapa pun dalam memperjuangkan tegaknya hak asasi manusia di negeri ini. Hanya kematian yang dapat menghentikannya dari upaya mulia memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Akan tetapi, pembunuhan yang ditujukan pada Munir kiranya tidak dapat “membuat mati” semua hal yang dimiliki dan dilakukan Munir.
Berbagai upaya yang dilakukan Munir sebelum kematiannya sudah telanjur membekas serta menebarkan benih-benih perjuangan penegakan hak asasi manusia pada banyak kalangan. Benih-benih itu tumbuh dan bermekaran setelah kematiannya yang tragis. Di mata banyak sahabat, kolega, dan kalangan masyarakat yang pernah merasakan sentuhan pembelaan Munir, jiwa dan semangat Munir tidak dapat dimatikan. Mereka menyatakan akan berjuang terus melanjutkan upaya-upaya yang sudah dirintis almarhum.
Bagi mereka, Munir telah berjasa membangkitkan kesadaran hak asasi manusia masyarakat, menggerakkan semangat dan keberanian masyarakat untuk melawan penindasan, serta meletakkan fondasi model dan upaya perbaikan dan pemajuan hak asasi manusia di Indonesia. Di mata mereka, Munir merupakan salah satu tokoh dan tulang punggung upaya perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia di Indonesia. Bagi mereka, apa yang dilakukan Munir selama ini sudah memadai untuk menjadikannya sebagai pahlawan sejati hak asasi manusia, yang perjuangannya harus dan akan terus dilanjutkan.
No comments:
Post a Comment