Sunday, December 25, 2016

Seri Pejuang dan Pahlawan Hak Asasi Manusia: Nelson Rolihlahla Mandela (1918–2013)


       Nelson Rolihlahla Mandela lahir di Mvezo, Umtata, Afrika Selatan, pada 18 Juli 1918. Mandela pindah dan menetap di Qunu sampai dengan umur 9 tahun. Masa kecilnya dihabiskan di Thembu. Ayahnya, Henry Mandela, adalah kepala suku Thembu.
       Nelson Mandela merupakan orang pertama dari keluarganya yang mengikuti pendidikan sekolah. Pada umur 16 tahun, ia masuk Clarkebury Boarding Institute untuk mempelajari kebudayaan Barat. Pada tahun 1934, ia memulai program bachelor of art  di Fort Hare University. Setelah pindah ke Johannesburg, ia mengambil kuliah jarak jauh di University of South Africa. Sehabis menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1942, ia belajar ilmu hukum di University of Witwatersrand.
       Mandela menikah tiga kali. Ia menikah dengan Evelyn Ntoko Mase dan bercerai pada tahun 1957 setelah bertahan selama 13 tahun. Pernikahan keduanya dengan Winnie Mandikizela, setelah bertahan 38 tahun, juga berakhir dengan perceraian (1996). Pada ulang tahunnya yang ke-80 (1998), Mandela menikahi Graca Machel, janda mantan Presiden Mozambik, Samora Machel.

1.    Melawan Apartheid
       Sejak menjadi mahasiswa, Mandela bersikap kritis terhadap ketidakadilan. Ketika kuliah di Fort Hare University, Mandela melakukan demonstrasi untuk menentang kebijakan universitas yang dianggapnya melenceng (tahun 1940). Akibat aktivitasnya, ia dikeluarkan dari kampus.
       Sikap kritis Mandela terus terbangun sampai usianya memasuki 20-an tahun. Di Johannesburg, Mandela bergabung dengan African National Congress (ANC), sebuah organisasi gerakan nasionalis multirasial yang membawa misi mengubah kondisi sosial dan politik di Afrika Selatan. Pada tahun 1944, Mandela turut mendirikan Liga Pemuda ANC.
       Sikap kritis Mandela mulai terbentuk menjadi sikap perlawanan seiring dengan kian memanasnya suhu kehidupan sosial dan politik di Afrika Selatan pada akhir tahun 1940-an. Mandela seperti mendapat sengatan kuat ketika pada tahun 1948 rezim pemerintah kulit putih Afrika Selatan memberlakukan politik apartheid. Melalui apartheid, kaum kulit putih yang hampir sepenuhnya mendomiasi pemerintahan Afrika Selatan, mengklaim dan menempatkan diri sebagai komunitas unggul yang harus mendapat perlakuan istimewa dan menempatkan masyarakat kulit berwarna –– terutama kulit hitam –– sebagai komunitas rendahan yang hak-haknya tidak perlu diperhatikan. Sejak berlakunya apartheid, masyarakat kulit berwarna –– khususnya kulit hitam yang merupakan mayoritas di Afrika Selatan –– hidup tertindas dan dibayang-bayangi kekerasan. Mereka, antara lain, dilarang untuk menggunakan hak pilih, dilarang tinggal di wilayah masyarakat kulit putih, serta tidak memiliki akses untuk menikmati pendidikan tinggi dan memperoleh pekerjaan yang layak.
       Kondisi sosial dan politik yang sangat timpang dan menindas tersebut mendorong Mandela meningkatkan militansi gerakannya di ANC. Setelah pada tahun 1952 diangkat menjadi salah satu wakil ketua ANC, Mandela bersama kawan seperjuangan setianya, Oliver Tambo, berusaha mengubah kebijakan ANC menjadi lebih berhaluan keras (radikal). Akibat sikapnya ini, Mandela sempat dituduh sebagai seorang pengkhianat (1956), tetapi kemudian dinyatakan tidak bersalah (1959).

2.    Dijatuhi Hukuman Seumur Hidup
       Tekad dan keberanian Mandela untuk melakukan perlawanan terhadap apartheid  bertambah kuat setelah pemerintah kulit putih kian menunjukkan kesewenang-wenangan dan kebrutalannya. Pada tahun 1960, aparat rezim kulit putih melakukan pembantaian terhadap massa demonstran di Sharpeville. Akibat pembantaian ini, 69 orang demonstran kulit hitam meninggal dunia.
        Untuk merespons perilaku rezim kulit putih yang kian represif, Mandela mulai bersikap konfrontatif. Setahun setelah pembantaian Sharpeville, pada tahun 1961 ia mempelopori pembentukan Umkhonto we Sizwe, sebuah laskar yang berada di bawah ANC. Laskar ini dipersiapkan untuk, antara lain, melakukan perlawanan fisik dan bersenjata terhadap rezim kulit putih.
      Mandela kemudian meninggalkan Afrika Selatan untuk mengikuti pelatihan militer di Aljazair. Setelah beberapa bulan mendapat tempaan militer, pada tahun 1962 ia kembali ke Afrika Selatan untuk mewujudkan perjuangan konfrontatifnya melawan rezim kulit putih. Namun, tak lama setelah tiba di tanah airnya, Mandela ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara selama lima tahun oleh rezim kulit putih dengan tuduhan meninggalkan Afrika Selatan secara ilegal.
        Selama Mandela di penjara, kawan-kawan seperjuangannya di ANC juga ditangkapi dan ditahan. Bersama para koleganya ini, Mandela kembali diajukan ke pengadilan. Melalui pengadilan rezim kulit putih pada tahun 1964, Mandela dinyatakan bersalah dan akhirnya divonis dengan hukuman penjara seumur hidup.

3.    Membebaskan Rakyat dari Apartheid
       Mandela tetap teguh dan konsisten pada pendiriannya semula: apartheid  harus dilawan dan dihapus. Apartheid  hanya menguntungkan dan menyejahterakan warga kulit putih yang jumlahnya minoritas, tetapi menyebabkan ketidakadilan dan kesengsaraan pada rakyat kulit hitam Afrika Selatan yang jumlahnya mayoritas. Baik secara terang-terangan maupun terselubung, hampir seluruh rakyat kulit hitam Afrika Selatan mendukung perjuangan Mandela.
       Dari balik penjara, Mandela terus mengobarkan semangat perlawanan terhadap penindasan sistematis melalui apartheid. Teman-teman seperjuangan serta para pengikut dan simpatisannya di luar penjara melakukan upaya perlawanan melalui berbagai jalur dan cara, sementara publik internasional sambil bertubi-tubi mengecam keras rezim kulit putih, juga turut memberi dukungan pada Mandela. Di sisi lain, rezim kulit putih terus mempelihatkan sikap tak peduli dengan secara sporadis tetap melakukan penggeledahan, penangkapan, penyerangan, dan pemenjaraan terhadap rakyat kulit hitam untuk mempertahankan apartheid.
       Keteguhan luar biasa Mandela, perlawanan rakyat kulit hitam yang terus berkobar, dan tekanan internasional yang tidak dapat dihentikan sedikit mengendurkan sikap otoriter dan keras kepala rezim kulit putih setelah masa pemenjaraan Mandela berlangsung hampir 21 tahun. Pada Februari 1985, rezim kulit putih menawarkan pembebasan bagi Mandela dengan syarat ia bersedia menghentikan perlawanan dan perjuangan bersenjata para pengikutnya. Mandela menolak dan tetap memilih tinggal di penjara sambil menyaksikan dan memberi semangat para pengikutnya melakukan perjuangan.
       Setelah ketabahan dan konsistensi Mandela kiranya tidak bisa ditaklukkan, sementara perlawanan rakyat kulit hitam serta kecaman masyarakat internasional sudah tak mungkin dapat dibendung, rezim kulit putih akhirnya menyerah. Presiden Afrika Selatan, F.W. de Klerk, yang juga merupakan salah satu tokoh kulit putih yang secara diam-diam tidak lagi menyetujui apartheid,  pada 11 Februari 1990 memerintahkan pembebasan Mandela tanpa syarat. Mandela kemudian bebas di tengah apartheid  mulai memasuki masa kehancurannya.
       Sekeluarnya Mandela dari penjara, rakyat kulit hitam Afrika Selatan pun akhirnya juga terbebas dari belenggu apartheid. Bersamaan dengan persiapan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu), apartheid dicabut dan lenyap dari bumi Afrika Selatan. Dalam pemilu yang diadakan empat tahun setelah pembebasannya (1994), Mandela sendiri dinyatakan keluar sebagai pemenang dan terpilih menjadi presiden –– merupakan presiden kulit hitam pertama dalam sejarah Afrika Selatan.

4.    Melakukan Rekonsiliasi
       Kemenangan Mandela bersama rakyat kulit hitam dalam melawan apartheid  serta kemenangan dirinya dalam pemilu disusul oleh munculnya peristiwa hebat. Mandela dan rakyat kulit hitam Afrika Selatan telah memenangkan pertarungan melawan rezim kulit putih pendatang dari Eropa. Namun, suatu hal yang luar biasa terjadi: Mandela berikut para pengikutnya dan masyarakat kulit hitam tidak melakukan balas dendam terhadap mantan rezim penguasa kulit putih yang lebih dari 40 tahun menindas warga kulit hitam.
       Bagi Mandela, merupakan pantangan besar bahwa setelah perjuangannya membela dan menegakkan hak-hak dasar manusia berakhir dengan kemenangan, ia sendiri kemudian justru melakukan pembalasan dendam dengan balik menindas mantan lawannya. Baginya, hal itu merupakan tindakan tak bertanggung jawab terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang konsekuensinya tidak akan mengantarkan Afrika Selatan pada penyelamatan dan pemulihan, melainkan pada kehancuran. Oleh sebab itulah, ia menghindari hal itu serta sebaliknya memimpin dan merangkul semua komponen bangsa Afrika Selatan untuk melakukan rekonsiliasai (rujuk nasional), menggalang persatuan, melupakan masa lalu, dan bersama membangun kembali Afrika Selatan untuk menyongsong masa depan.
       Menyaksikan perjuangan dan dedikasinya yang luar biasa dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian, masyarakat dunia menjadi takjub dan tidak ragu-ragu menggolongkan Mandela sebagai tokoh besar yang fenomenal. Mandela telah menghabiskan lebih dari 27 tahun masa hidupnya di dalam penjara demi membebaskan masyarakat kulit hitam Afrika Selatan dari penindasan apartheid. Dengan lapang dada, ia juga membuang sikap dendam serta egoisme pribadi dan kelompok demi terwujudnya perdamaian di negaranya. Tidak mengherankan, untuk jasa-jasanya yang luar biasa itu, ia   –– dan juga F.W. de Klerk –– dianugerahi hadiah Nobel Perdamaian (1993), sebuah pengakuan dan penghargaan paling tinggi dan prestisius di dunia dalam bidang penegakan nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian.

No comments:

Post a Comment