Agama umumnya dipandang sebagai pegangan hidup yang utama dan paling penting bagi umat manusia. Bentuk, corak, dan arah kehidupan umat manu-sia sangat ditentukan oleh agama. Selain mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, agama juga mengatur hubungan antara manusia dan manusia lainnya serta manusia dan alam.
Agama lazim memerintahkan setiap pemeluknya untuk mempelajari, memperdalam, dan mengamalkan ajaran yang terdapat dalam agama tersebut. Hal ini dilakukan agar manusia dapat hidup di jalan yang benar dan mendapat keselamatan –– menurut pandangan agama yang bersangkutan –– serta agama itu sendiri memiliki peran yang positif dalam kehidupan. Oleh karena itu, mempelajari dan memperdalam agama bagi setiap pemeluk agama umumnya dianggap sangat penting serta bahkan menjadi kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar.
Lalu, apakah yang disebut agama? Biarpun selama ini kita sudah begitu lekat dengan kata ‘agama’ karena kita memeluknya, apakah kita sudah benar-benar memahami hakikat agama? Bagaimanakah kedudukan agama dalam kehidupan manusia? Bagaimana pula kaitan antara agama dan perilaku manusia serta antara agama dan hubungan manusia-Tuhan?
Kata agama berasal dari bahasa Sanskerta, hasil gabungan kata ‘a’ yang berarti tidak dan ‘gam’ yang berarti jalan atau pergi. Secara harfiah, kata agama berarti ‘tidak pergi’, ‘tidak kembali’, atau ‘abadi’ (langgeng). Adapun secara terminologis (sebagai istilah), agama memiliki makna suatu keyakinan abadi terhadap Tuhan yang meliputi seperangkat ajaran, peribadatan, serta perintah dan larangan yang wajib ditaati. Dalam perkembangannya di Indonesia, kata ‘agama’ digunakan di seluruh wilayah Nusantara untuk menunjukkan kepercayaan, pandangan hidup, serta ritus dan adat istiadatnya (Syukur dkk., 2005: 34).
Apakah Anda dapat memahami pengertian tersebut di atas? Apakah pengertian tersebut sejalan dengan praktik keagamaan yang selama ini Anda lakukan? Menurut pengalaman dan pengamalan beragama Anda, dapatkah dirumuskan pengertian atau definisi lain yang lebih tepat tentang agama?
Adapun secara fenomenologis, agama merupakan alat yang digunakan manusia dalam berhubungan dengan “zat yang melampaui manusia”. Beragama pada prinsipnya sama untuk semua umat manusia dari segala zaman dan tempat sehingga ada kesatuan mendasar pada semua wahyu Tuhan, terutama wahyu yang disampaikan melalui agama-agama. Secara kerohanian, agama merupakan kebenaran terakhir yang menjadi pedoman hidup setiap manusia.
Di dalam sosiologi, agama disebut religion, yang memiliki makna lebih luas dari sekadar agama seperti yang kita kenal selama ini –– Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Dalam sosiologi dikenal pula istilah civil religion, yaitu kepercayaan dan ritual di luar pranata agama. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara agama dapat menjad sarana pengendalian yang meningkatkan kerekatan sosial.
Agama memang seringkali disamakan dengan religi (religion). Terkait dengan hal ini, menurut Koentjaraningrat (dalam Siany dan Atiek, 2009: 83), religi adalah sistem yang terdiri atas konsep-konsep yang dipercaya dan menjadi keyakinan mutlak suatu umat beragama. Sebagai sistem, religi mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan, antara manusia yang satu dan manusia lainnya, serta antara manusia dan lingkungan. Menurut Koentjaraningrat pula, terdapat lima komponen keagamaan yang penting dalam religi, yakni sistem keyakinan, umat agama, emosi keagamaan, sistem ritus, dan upacara keagamaan. Di dalam buku Kamus Antropologi, Koentjaraningrat mendefinisikan religi sebagai sistem yang terdiri atas konsep-konsep yang dipercaya dan menjadi keyakinan secara mutlak suatu umat beragama dan upacara-upacara beserta pemuka-pemuka agama yang melaksanakannya. Sistem religi mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan, manusia dan dunia gaib, antara sesama manusia, serta antara manusia dan lingkungannya yang dijiwai oleh suasana yang dirasakan sebagai kekerabatan oleh yang menganutnya.
Edward Tylor (Siany dan Atiek, 2009: 84) menyatakan, agama merupakan ungkapan rasa takjub manusia terhadap kekuasaan dan kekuatan yang berada di luar dirinya. Menurutnya, agama ialah sebuah hubungan antara unsur natural dan supranatural (kekuatan gaib) karena manusia merasakan kekuatan dahsyat yang mengendalikan kehidupannya sehingga kekuatan tersebut perlu disembah agar tak murka. Hal ini melahirkan agama-agama yang menganggap benda-benda alam –– seperti gunung, laut, matahari, bulan, api, dan angin –– sebagai objek penyembahan.
Dalam pada itu, menurut Durkheim, agama terkait dengan hal-hal yang sakral dan sosial. Hal paling elementer dalam agama adalah totemisme. Totem adalah objek penyembahan, tetapi bukanlah dewa. Totem tidak menimbulkan ketakutan atau kehormatan, bahkan secara primitif tidak didiami oleh roh. Akan tetapi, totem memiliki sifat sosial. Adapun Pritchard dan Geertz menyatakan, agama memiliki hubungan dengan mistik yang terletak di balik dan di luar kehidupan biasa, sedangkan menurut Haviland, agama adalah kepercayaan dan pola perilaku yang diusahakan manusia untuk menangani masalah-masalah penting yang tak dapat dipecahkan dengan teknologi dan teknik organisasi sehingga manusia akhirnya berpaling pada manipulasi makhluk dan kekuatan supranatural (dalam Dyastriningrum, 2009: 31–32).
Menurut Durkheim (Siany dan Atiek, 2009: 84), terdapat dua faktor yang melandasi hadirnya agama di tengah kehidupan masyarakat, yakni keyakinan akan sesuatu yang suci (sacred) dan keyakinan akan sesuatu yang duniawi (profan). Dalam hidupnya, manusia senantiasa menghadapi dua unsur itu sehingga agama diperlukan untuk menuntunnya ke arah kesucian. Agama berisi seperangkat nilai kebaikan yang harus dilakukan manusia dan larangan menjalankan keburukan yang harus dijauhi manusia.
Agama lazim memerintahkan setiap pemeluknya untuk mempelajari, memperdalam, dan mengamalkan ajaran yang terdapat dalam agama tersebut. Hal ini dilakukan agar manusia dapat hidup di jalan yang benar dan mendapat keselamatan –– menurut pandangan agama yang bersangkutan –– serta agama itu sendiri memiliki peran yang positif dalam kehidupan. Oleh karena itu, mempelajari dan memperdalam agama bagi setiap pemeluk agama umumnya dianggap sangat penting serta bahkan menjadi kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar.
Lalu, apakah yang disebut agama? Biarpun selama ini kita sudah begitu lekat dengan kata ‘agama’ karena kita memeluknya, apakah kita sudah benar-benar memahami hakikat agama? Bagaimanakah kedudukan agama dalam kehidupan manusia? Bagaimana pula kaitan antara agama dan perilaku manusia serta antara agama dan hubungan manusia-Tuhan?
Kata agama berasal dari bahasa Sanskerta, hasil gabungan kata ‘a’ yang berarti tidak dan ‘gam’ yang berarti jalan atau pergi. Secara harfiah, kata agama berarti ‘tidak pergi’, ‘tidak kembali’, atau ‘abadi’ (langgeng). Adapun secara terminologis (sebagai istilah), agama memiliki makna suatu keyakinan abadi terhadap Tuhan yang meliputi seperangkat ajaran, peribadatan, serta perintah dan larangan yang wajib ditaati. Dalam perkembangannya di Indonesia, kata ‘agama’ digunakan di seluruh wilayah Nusantara untuk menunjukkan kepercayaan, pandangan hidup, serta ritus dan adat istiadatnya (Syukur dkk., 2005: 34).
Apakah Anda dapat memahami pengertian tersebut di atas? Apakah pengertian tersebut sejalan dengan praktik keagamaan yang selama ini Anda lakukan? Menurut pengalaman dan pengamalan beragama Anda, dapatkah dirumuskan pengertian atau definisi lain yang lebih tepat tentang agama?
Adapun secara fenomenologis, agama merupakan alat yang digunakan manusia dalam berhubungan dengan “zat yang melampaui manusia”. Beragama pada prinsipnya sama untuk semua umat manusia dari segala zaman dan tempat sehingga ada kesatuan mendasar pada semua wahyu Tuhan, terutama wahyu yang disampaikan melalui agama-agama. Secara kerohanian, agama merupakan kebenaran terakhir yang menjadi pedoman hidup setiap manusia.
Di dalam sosiologi, agama disebut religion, yang memiliki makna lebih luas dari sekadar agama seperti yang kita kenal selama ini –– Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Dalam sosiologi dikenal pula istilah civil religion, yaitu kepercayaan dan ritual di luar pranata agama. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara agama dapat menjad sarana pengendalian yang meningkatkan kerekatan sosial.
Agama memang seringkali disamakan dengan religi (religion). Terkait dengan hal ini, menurut Koentjaraningrat (dalam Siany dan Atiek, 2009: 83), religi adalah sistem yang terdiri atas konsep-konsep yang dipercaya dan menjadi keyakinan mutlak suatu umat beragama. Sebagai sistem, religi mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan, antara manusia yang satu dan manusia lainnya, serta antara manusia dan lingkungan. Menurut Koentjaraningrat pula, terdapat lima komponen keagamaan yang penting dalam religi, yakni sistem keyakinan, umat agama, emosi keagamaan, sistem ritus, dan upacara keagamaan. Di dalam buku Kamus Antropologi, Koentjaraningrat mendefinisikan religi sebagai sistem yang terdiri atas konsep-konsep yang dipercaya dan menjadi keyakinan secara mutlak suatu umat beragama dan upacara-upacara beserta pemuka-pemuka agama yang melaksanakannya. Sistem religi mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan, manusia dan dunia gaib, antara sesama manusia, serta antara manusia dan lingkungannya yang dijiwai oleh suasana yang dirasakan sebagai kekerabatan oleh yang menganutnya.
Edward Tylor (Siany dan Atiek, 2009: 84) menyatakan, agama merupakan ungkapan rasa takjub manusia terhadap kekuasaan dan kekuatan yang berada di luar dirinya. Menurutnya, agama ialah sebuah hubungan antara unsur natural dan supranatural (kekuatan gaib) karena manusia merasakan kekuatan dahsyat yang mengendalikan kehidupannya sehingga kekuatan tersebut perlu disembah agar tak murka. Hal ini melahirkan agama-agama yang menganggap benda-benda alam –– seperti gunung, laut, matahari, bulan, api, dan angin –– sebagai objek penyembahan.
Dalam pada itu, menurut Durkheim, agama terkait dengan hal-hal yang sakral dan sosial. Hal paling elementer dalam agama adalah totemisme. Totem adalah objek penyembahan, tetapi bukanlah dewa. Totem tidak menimbulkan ketakutan atau kehormatan, bahkan secara primitif tidak didiami oleh roh. Akan tetapi, totem memiliki sifat sosial. Adapun Pritchard dan Geertz menyatakan, agama memiliki hubungan dengan mistik yang terletak di balik dan di luar kehidupan biasa, sedangkan menurut Haviland, agama adalah kepercayaan dan pola perilaku yang diusahakan manusia untuk menangani masalah-masalah penting yang tak dapat dipecahkan dengan teknologi dan teknik organisasi sehingga manusia akhirnya berpaling pada manipulasi makhluk dan kekuatan supranatural (dalam Dyastriningrum, 2009: 31–32).
Menurut Durkheim (Siany dan Atiek, 2009: 84), terdapat dua faktor yang melandasi hadirnya agama di tengah kehidupan masyarakat, yakni keyakinan akan sesuatu yang suci (sacred) dan keyakinan akan sesuatu yang duniawi (profan). Dalam hidupnya, manusia senantiasa menghadapi dua unsur itu sehingga agama diperlukan untuk menuntunnya ke arah kesucian. Agama berisi seperangkat nilai kebaikan yang harus dilakukan manusia dan larangan menjalankan keburukan yang harus dijauhi manusia.
No comments:
Post a Comment