Implementasi prinsip kesetaraan merupakan pelaksanaan
atau penerapan prinsip kesetaraan dalam kehidupan konkret masyarakat sebagai
upaya mewujudkan tatanan yang lebih adil dan bebas dari diskriminasi. Dalam
praktiknya, hal ini akan terkait dengan beberapa isu aktual dan faktual yang
berkembang di tengah kehidupan masyarakat. Isu-isu yang dimaksud biasanya
menyangkut keberadaan dan nasib kelompok-kelompok tertentu yang selama ini
menjadi subjek atau pelaku yang
menghendaki dilakukannya implementasi prinsip kesetaraan demi terwujudnya
keadilan dan terhindarnya tatanan yang diskriminatif.
A. Kesetaraan Gender
Kurang lebih dalam 20 tahun terakhir konsep tentang
gender menjadi isu hangat yang banyak dibicarakan terkait dengan masalah
perubahan sosial, khususnya implementasi prinsip-prinsip kesetaraan untuk
membangun masyarakat yang adil dan bermartabat. Istilah ‘gender’ masih
seringkali mengundang kontroversi terutama jika dihubungkan dengan masalah ketidakadilan
yang terjadi dalam masyarakat. Gender sebenarnya hanyalah sebuah istilah yang
secara umum dapat diartikan ‘jenis kelamin’, tetapi dalam konteks hubungan antara laki-laki dan perempuan
menjadi sensitif akibat kepemilikan dan pelaksanaan hak-hak di antara keduanya
dianggap tidak setara dan kurang adil.
Secara harfiah, gender berarti jenis kelamin.
Jenis kelamin yang dimaksud adalah yang lazim dimiliki oleh manusia, yakni
laki-laki dan perempuan. Sebagai istilah, gender digunakan untuk
mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial
budaya. Para aktivis masalah keperempuanan (feminisme) menyatakan bahwa gender
dalam pengertian ini mengidentifikasikan laki-laki dan perempuan bukan dari
sudut biologis (seks), melainkan dari peran dan fungsinya dalam kehidupan sosial
dan kultural. Terkait dengan masalah kesetaraan, muncul astilah ‘kesetaraan
gender’ yang mengandung makna kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam
kedudukan, hak, dan kewajiban.
Masalah kesetaraan gender seringkali memancing debat
berkepanjangan. Kaum perempuan modern yang memiliki kesadaran tinggi akan pentingnya
hak-hak kaum perempuan tidak jarang mengajukan tuntutan bagi diwujudkannya
persamaan hak dan kedudukan antara kaum
perempuan dan laki-laki akibat di tengah masyarakat masih terjadi ketimpangan
pelaksanaan hak-hak dan kedudukan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan:
kaum perempuan belum dapat menikmati hak dan kedudukan sebagaimana yang
dinikmati kaum laki-laki. Di sisi berbeda, kalangan konservatif (kolot, tradisional)
seraya menganggap para perempuan modern terlalu banyak menuntut, memandang apa
yang diberikan kepada kaum perempuan selama ini sebenarnya sudah sesuai dengan
hak, kedudukan, dan kodratnya.
Sementara itu, fakta riil dalam praktik pelaksanaan
hak dan kedudukan antara kaum laki-laki dan perempuan memperlihatkan bahwa
prinsip kesetaraan belum dapat diimplementasikan secara penuh akibat kendala
adat, tradisi, perbedaan tafsir (ajaran) agama, perbedaan pandangan tentang
kodrat laki-laki dan perempuan, dan sebagainya. Banyak kalangan menghendaki
kesetaraan gender, yakni persamaan hak dan kedudukan laki-laki dan perempuan,
segera diwujudkan melalui pembuatan peraturan perundang-undangan dan praktik
kehidupan di semua bidang dan sektor kehidupan. Namun, hal itu belum dapat dilakukan.
Di berbagai
negara berkembang kesetaraan gender hingga kini masih terus menjadi isu penting
karena belum sepenuhnya dapat direalisasikan. Di Indonesia realisasi kesetaraan
gender demi mewujudkan tatanan yang adil dan tidak diskriminatif terhadap
perempuan juga menjadi agenda yang terus diperjuangkan oleh berbagai kalangan.
Kendala adat, tradisi, perbedaan tafsir (ajaran) agama, perbedaan pandangan
tentang kodrat laki-laki dan perempuan, dan sebagainya dicoba terus untuk
dicarikan solusinya, antara lain, melalui kampanye dan dialog konstruktif.
B. Kesetaraan Suku
Kesetaraan suku adalah kesederajatan di antara
kelompok-kelompok suku yang hidup di masyarakat. Berdasarkan prinsip ini, semua
kelompok suku memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama. Pada era
reformasi saat ini kesetaraan suku di Indonesia sudah terbentuk dengan cukup
baik. Implementasi kesetaraan suku relatif tidak membutuhkan upaya yang
sifatnya khusus karena kedudukan serta hak dan kewajiban semua suku di negara
kita dirasakan sudah memiliki kesamaan. Upaya yang diperlukan tinggal menjaga
dan mempertahankan iklim kondusif yang selama ini sudah terbentuk.
Berdasarkan aturan formal yang dikatahui, di Indonesia
tidak ada diskriminasi terhadap suku-suku tertentu. Dalam interaksi antarwarga
secara umum juga tidak ditemukan adanya pengistimewaan terhadap
kelompok-kelompok suku tertentu serta pembatasan-pembatasan terhadap
kelompok-kelompok suku tertentu yang lain. Jika pun terjadi diskriminasi, hal
itu lebih disebabkan oleh tindak penyimpangan atau kriminal yang dilakukan
oknum-oknum tertentu yang tak bertanggung jawab.
Dalam pada itu, ketegangan dan konflik antarsuku yang
secara sporadis kadang terjadi di beberapa daerah juga umumnya tidak dipicu
oleh masalah diskriminasi. Modus peristiwanya lebih dilatarbelakangi oleh
persoalan-persoalan di luar problem kesetaraan, seperti kecemburuan sosial,
sentimen primordial, sengketa wilayah, dan fanatisme kelompok. Oleh karena itu,
upaya pemecahan masalah atas kejadian tersebut tidak dilakukan melalui
penegakan prinsip kesetaraan suku secara lebih intensif, tetapi melalui
penegakan hukum biasa.
C. Kesetaraan (Penganut) Agama
Kesetaraan agama merujuk pada pengertian kesederajatan
di antara semua kelompok penganut agama yang berbeda-beda dalam masyarakat. Di
Indonesia ada enam agama yang diakui secara resmi oleh negara, yakni Islam,
Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Prinsip kesetaraan agama
menyatakan bahwa semua kelompok penganut enam agama tersebut memiliki
kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama.
Sebagaimana kesetaraan suku, kesetaraan di antara
kelompok penganut agama di Indonesia sebenarnya sudah terwujud dengan cukup
baik. Implementasi kesetaraan agama umumnya tidak terhambat oleh faktor aturan,
budaya, atau kebijakan negara. Sejauh ini penganut enam agama di Indonesia
memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama. Hambatan yang muncul selama
ini lebih disebabkan oleh sikap berlebihan kelompok agama tertentu akibat
fanatisme yang kurang terkontrol.
Di tingkat elite penganut agama (pemuka agama) tidak
pernah muncul upaya untuk membatasi penganut agama lain untuk melaksanakan
hak-haknya. Ketegangan dan konflik antarumat beragama yang secara insidental
kadang terjadi juga tidak diakibatkan oleh ketimpangan dalam penerapan prinsip
kesetaraan, melainkan oleh sikap militan dan provokasi yang bersifat politis.
Secara institusional, di Indonesia tidak ada agama yang ajarannya memerintahkan
umatnya untuk membatasi dan apalagi melarang penganut agama lain untuk
melaksanakan hak-haknya.
No comments:
Post a Comment