Monday, January 9, 2017

Koalisi di Tengah Persoalan Bangsa

       Setelah pemilu legislatif 2014 digelar dan hasil perolehan suara setiap kontestan (berdasarkan quick count) diketahui, jagat politik Indonesia memasuki babak baru yang lebih menegangkan: koalisi untuk menghadapi pemilihan presiden. Koalisi kini menjadi isu yang paling panas di kalangan parpol peserta pemilu legislatif 2014. Tiadanya pemenang mutlak memaksa semua kontestan melakukan koalisi untuk memenuhi persyaratan president threshold dengan perolehan suara 20 persen (parlemen) dan 25 persen (secara nasional). 

       Jagat politik pun menjelma seperti sebuah gamePara elite dan kader parpol sibuk menyusun strategi dan berburu mitra koalisi demi mendapatkan akumulasi suara yang mencukupi untuk mengajukan pasangan calon presiden-wakil presiden. Tiada hari berlalu tanpa memeras otak untuk membuat kalkulasi politik dalam menghadapi pemilihan presiden, Juli nanti.


       Apa tujuan yang akan diraih dari koalisi yang diupayakan para elite parpol? Apa yang terbersit dalam benak mereka saat menjalin koalisi: meraih akumulasi suara sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan jabatan semata-mata demi kekuasaan atau meraih kekuasaan demi mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki kehidupan bangsa dan negara? Apakah saat membuat koalisi mereka memasukkan kepentingan bangsa sebagai faktor pokok yang hendak diperjuangkan?


       Di negara yang tengah giat melakukan demokratisasi seperti Indonesia, tingginya interes parpol terhadap kekuasaan adalah hal yang wajar. Upaya para elite dan kader parpol untuk melakukan koalisi demi meraih jabatan di parlemen dan pemerintahan (kabinet) juga dianggap hal yang jamak –– biarpun menurut beberapa ahli tata negara, koalisi sebenarnya kurang sesuai dengan sistem presidensial. Koalisi acapkali menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya membentuk pemerintahan dan parlemen yang balancedlegitimated, kuat, dan stabil. 



1.    Tidak Kapabel

       Persoalan krusialnya adalah jika koalisi dilakukan untuk “dagang sapi” atau bagi-bagi kekuasaan belaka. Jika motivasi ini yang berada di balik kegairahan koalisi, maka koalisi tidak lebih akan menjadi sarana untuk meraih jabatan pemerintahan dan parlemen saja. Dengan konstelasi demikian, koalisi akan sulit sekali menghasilkan pemerintahan dan parlemen yang kapabel dan kredibel, yang mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara benar dan sesuai dengan ekspektasi rakyat. 

       Pemerintahan yang terbentuk dari koalisi dagang sapi akan terperangkap dalam tarik-menarik banyak kepentingan sehingga sulit mampu menyelesaikan persoalan-persoalan berat bangsa, seperti kemiskinan, pengangguran, dan korupsi. Parlemen yang terbentuk dengan cara yang sama juga sulit diandalkan dapat mengawasi jalannya pemerintahan dengan objektif, dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat sesuai harapan, serta dapat melahirkan produk legislasi (undang-undang) yang akuntabel. Alih-alih mampu menjalankan peran dan fungsinya seperti tuntutan konstitusi, pemerintahan dan parlemen hasil koalisi dagang sapi malah akan melahirkan banyak penyalahgunaan wewenang, kolusi, dan korupsi –– seperti yang dengan gamblang dapat kita saksikan dalam pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid II dan masa bakti DPR/DPRD periode lima tahun terakhir.


       Kegagalan-kegagalan dalam menurunkan angka kemiskinan (secara signifikan), melakukan pemerataan kesejahteraan, pemberantasan korupsi, pembasmian mafia hukum dan pajak, serta pencegahan dan penanggulangan bentuk-bentuk kejahatan lain tidak semata-mata diakibatkan oleh kendala teknis dan kekurangan anggaran. Berbagai kerunyaman ini lebih banyak diakibatkan oleh pragmatisme, permisifisme, kompromi, dan bahkan konspirasi di antara para elite parpol peserta koalisi karena tarik-menarik dan interdependensi kepentingan. Konstelasi yang tidak normal ini menyebabkan program-program pemerintahan dan parlemen menjadi berlangsung serbaminimalis atau bahkan mengalami penyimpangan sehingga terus-menerus dihantui kemandekan dan kegagalan.


       Dalam banyak hal, program-program pemerintahan dan parlemen tidak hanya mengalami gangguan, melainkan juga pemelintiran yang berujung korupsi. Buktinya, berbagai kasus korupsi  –– terutama yang berskala besar –– nyaris selalu melibatkan elite dan kader parpol peserta koalisi (ingat, kasus Hambalang, impor daging sapi, pilkada Gunungmas dan Lebak, pencetakan Alquran, serta SKK migas). Keterlibatan elite dan kader parpol peserta koalisi dalam kasus-kasus itu jelas bukan karena faktor kebetulan. Keterlibatan mereka lebih banyak disebabkan oleh peluang dan keleluasaan yang mereka dapatkan akibat akses yang relatif terbuka sebagai bagian dari hasil bagi-bagi kue kekuasaan.


2.    Beban Negara

       Dengan kecenderungan negatifnya, koalisi dagang sapi harus dihindari. Di tengah transisi menuju substansi demokrasi, koalisi dagang sapi bukan merupakan strategi politik dan solusi yang kondusif bagi penyelesaian berbagai persoalan besar bangsa. Persoalan besar, seperti korupsi, kemiskinan, dan pemerataan pembangunan, akan sulit diatasi dengan politik dagang sapi. 

       Koalisi dagang sapi cenderung akan menambah persoalan baru serta membuat negara ini sulit keluar dari belitan berbagai persoalan hukum, ekonomi, sosial, dan sebagainya. Koalisi model ini hanya akan menguntungkan kekuatan-kekuatan politik yang terlibat di dalamnya, tetapi membuat rakyat dan negara sangat terbebani dan dirugikan. Koalisi dagang sapi akan menghasilkan anomali yang sangat memprihatinkan: para elite bangsa dan parpol justru menjadi bagian persoalan yang harus diselesaikan oleh rakyat dan negara, bukan pihak yang (seharusnya paling bertanggung jawab) menyelesaikan persoalan yang dihadapi rakyat dan negara.


No comments:

Post a Comment