Tuesday, December 27, 2016

Pejuang dan Pahlawan Hak Asasi Manusia


       Mungkinkah hak asasi manusia terjamin, tegak, dan terlindungi dengan sendirinya tanpa diusahakan atau diperjuangkan? Mungkinkah sebuah rezim pemerintah atau kaum penjajah dengan sukarela memberi kebebasan kepada semua warga negara atau kepada masyarakat jajahannya untuk melaksanakan hak asasi tanpa kekangan atau pembatasan? Walaupun sesungguhnya setiap individu manusia diberi hak asasi oleh Tuhan, apakah hak asasi itu secara otomatis dapat dilaksanakan dengan leluasa tanpa hambatan dari sesama atau penguasa?

       Sejarah kehidupan manusia membuktikan bahwa jarang sekali –– jika tak dapat dikatakan hampir tidak pernah terjadi –– hak-hak masyarakat tegak dengan sendirinya tanpa usaha atau tanpa perjuangan. Sebaliknya, sejarah kehidupan manusia justru dipenuhi dengan penindasan oleh kelompok yang kuat terhadap yang lemah, oleh kaum penjajah terhadap masyarakat yang dijajah, oleh penguasa otoriter terhadap rakyat, atau oleh aparat pemerintah terhadap warga masyarakat. Akibat banyaknya penindasan dalam berbagai bentuknya, perjalanan kehidupan manusia penuh dengan liku-liku perjuangan berat mewujudkan tegak dan terjaminnya hak asasi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan.

       Perjuangan menegakkan hak asasi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan hampir tidak pernah dapat dilakukan dengan mudah, mulus, dan instant. Para diktator, otoritarian, dan penindas selalu saja menghalalkan berbagai cara –– termasuk cara negatif, seperti teror, penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan –– untuk mempertahankan kekuasaan dan eksistensinya. Perjuangan membebaskan masyarakat dari kediktatoran dan kesewenang-wenangan sama sekali bukanlah perjuangan yang ringan dan sederhana. Perjuangan untuk mengalahkan kesewenang-wenangan senantiasa merupakan perjuangan sangat berat yang membutuhkan pengorbanan waktu, energi, pikiran, harta benda, dan seringkali juga jiwa (nyawa).

       Perjuangan membebaskan masyarakat dari penindasan dan pelanggaran hak asasi manusia, karena itu, membutuhkan kepeloporan orang-orang yang memiliki kemampuan yang luar biasa dalam berbagai hal. Perjuangan tersebut umumnya tidak dilakukan oleh orang-orang kebanyakan dengan kemampuan yang biasa-biasa saja. Perjuangan menegakkan hak asasi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan lazimnya dilakukan oleh para pejuang atau pahlawan yang memiliki integritas dan komitmen kemanusiaan yang luar biasa.

       Para pejuang dan pahlawan hak asasi manusia dan kemanusiaan memiliki keluarbiasaan dalam keberanian dan konsistensi. Mereka kebal dari ancaman dan teror serta tidak gentar menghadapi penangkapan, penahanan, penculikan, penyiksaan, dan bahkan kematian –– sebagian dari mereka gugur terbunuh dalam menjalankan tugas. Sepak terjang mereka menimbulkan kekhawatiran besar dan mimpi buruk bagi para diktator dan kaum penindas.
Para pejuang dan pahlawan hak asasi manusia umumnya menjadi minoritas dalam masyarakat, tetapi perjuangan mereka membangkitkan kesadaran hak asasi manusia masyarakat dan memicu semangat perlawanan kolektif terhadap penindasan. Mereka merupakan figur yang jasa-jasanya patut dikenang. Sikap dan perjuangan mereka juga patut menjadi teladan masyarakat dan bangsa. 

Pengertian Pariwisata


       Pada hari libur yang cerah, Pak Burhan sekeluarga menyewa sebuah mobil minibus untuk berekreasi ke beberapa tempat wisata di Jawa Timur. Mereka berangkat sehabis subuh dari Kota Pasuruan menuju beberapa lokasi yang terletak di wilayah Kabupaten Malang. Tempat pertama yang mereka kunjungi ialah sebuah pantai yang terletak di tepi Samudra Hindia. Sepulang dari pantai, mereka mengunjungi dan menikmati objek kolam renang dan taman. Sebelum kembali ke Pasuruan, Pak Burhan sekeluarga singgah di sebuah perkebunan apel untuk menikmati wisata alam dan sekadar berbelanja oleh-oleh.

       Aktivitas yang dilakukan oleh keluarga Pak Burhan juga dilakukan oleh banyak keluarga lain di berbagai pelosok di negara kita. Pada hari-hari libur, mereka berduyun-duyun memadati tempat-tempat rekreasi. Mereka umumnya datang untuk mendapatkan hiburan dan kegembiraan. Hiburan dan kegembiraan tidak dapat dipisahkan dari manusia karena keduanya menjadi bagian dari kebutuhan hidup manusia.

       Kegiatan yang dilakukan oleh keluarga Pak Burhan biasa disebut rekreasi, tamasya, piknik, atau wisata. Kegiatan semacam itu saat ini sudah menjadi hal yang rutin dan biasa serta dilakukan oleh ribuan atau jutaan orang dalam setiap pekannya. Di sisi lain, untuk memenuhi tingginya permintaan atau kebutuhan akan kegiatan wisata, para pengelola daerah atau tempat tujuan wisata berkompetisi menyediakan tempat-tempat wisata dengan segala pelayanan dan fasilitasnya.

       Hal itu kemudian mencuatkan sebuah fenomena yang disebut ‘pariwisata’. Dapat dikatakan, pariwisata kini menjadi primadona yang “seksi”, terkenal, dan fenomenal. Pariwisata dengan cepat mencuat menjadi bintang yang bersinar terang –– di antara beberapa bintang lain –– dalam dunia perekonomian dan industri, tidak hanya di Indonesia, melainkan di seluruh dunia. Bagi banyak daerah dan negara, pariwisata telah dan akan terus mendatangkan pendapatan (income)  dan devisa yang tidak sedikit serta terbukti berperan mengangkat kesejahteraan masyarakatnya. 

       Makin mencuat dan populernya pariwisata terutama didukung oleh faktor perkembangan pesat bidang yang satu ini ke arah industrialisasi. Berbeda dengan dahulu, pada zaman modern saat ini pariwisata sudah menjelma menjadi kegiatan industri yang menyerap banyak modal dan tenaga kerja. Pengelolaannya pun sudah dilakukan secara profesional dengan menggunakan prinsip-prinsip bisnis yang canggih.

       Namun, di tengah popularitas pariwisata dan seringnya kita mengucapkan kata ‘pariwisata’, sudahkah kita memahami makna kata tersebut? Apakah yang sesungguhnya disebut pariwisata?  Bagaimanakah definisi atau pengertian pariwisata yang tepat? Untuk mengetahui definisi pariwisata, mari kita ikuti uraian berikut ini.

       Secara  etimologis  (asal-usul  kata  berikut perubahan bentuk dan makna), kata ‘pariwisata’  terbentuk dari dua kata, yakni  pari-  dan wisata.  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: 830), kata  pari-  memiliki arti ‘seluruh’, ‘semua’, dan ‘penuh’. Adapun menurut sumber yang sama (2002: 1274), kata wisata memiliki tiga arti, yakni  ‘bepergian bersama-sama untuk memperluas pengetahuan, bersenang-senang, dan sebagainya’, ‘tamasya’, dan ‘piknik’.

       Pengertian pariwisata yang mungkin dapat dikatakan resmi dan baku dapat kita jumpai dalam UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Di dalam Pasal 1 Ayat (3) undang-undang ini dijelaskan, pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata yang didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah. Di dalam undang-undang yang sama juga diterangkan beberapa hal lain yang masih terkait dengan pariwisata –– seperti wisata, wisatawan, dan kepariwisataan. Penjelasan mengenai pengertian ketiganya dalam UU No. 10 Tahun 2009 selengkapnya sebagai berikut.
  1. Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam waktu sementara.
  2. Wisatawan atau turis adalah orang yang melakukan wisata.
  3. Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah, dan pengusaha.

       Beberapa pengertian lain tentang pariwisata dapat kita temukan dari pendapat beberapa ahli serta berbagai sumber literatur (referensi). Sebagai penambah perbendaharaan sekaligus untuk perbandingan, berikut ini dipaparkan pengertian pariwisata dari beberapa pakar dan berbagai sumber literatur.
  1. ·Pariwisata ialah keseluruhan dari gejala yang ditimbulkan oleh perjalanan dan pendiaman (persinggahan) orang-orang asing serta penyediaan tempat tinggal sementara, asalkan pendiam (orang yang singgah) itu tidak tinggal menetap dan tidak memperoleh penghasilan dari aktivitas sementara tersebut (Hunzieker dan Krapt dalam Yoeti, 2002: 8).
  2. ·Pariwisata adalah suatu aktivitas manusia yang dilakukan secara sadar yang mendapatkan pelayanan secara bergantian di antara orang-orang dalam suatu negara atau luar negeri, meliputi pendiaman (persinggahan) orang-orang untuk sementara waktu dalam mencapai kepuasan yang beraneka ragam dan berbeda (dengan apa yang dialami di tempat tempat tinggal asal) tanpa bekerja tetap (Salah Wahab dalam Yoeti, 2002: 8).
  3. ·Pariwisata adalah proses bepergian sementara dari seseorang atau lebih dari satu orang menuju tempat lain di luar tempat tinggalnya. Dorongan kepergiannya adalah karena berbagai kepentingan, baik kepentingan ekonomi, sosial, kebudayaan, politik, agama, kesehatan, maupun kepentingan lain, seperti sekadar ingin tahu, menambah pengalaman, atau untuk belajar (Surwantoro dalam Setiawati, 20-13: 7).
  4. ·Pariwisata ialah suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara, yang diselenggarakan dari suatu tempat ke tempat lain, dengan maksud bukan untuk berusaha (bisnis) atau mencari nafkah di tempat yang dikunjungi, melainkan semata-mata untuk menikmati perjalanan itu guna pertamasyaan dan rekreasi atau untuk memenuhi keinginan yang beraneka raga (Yoeti dalam Setiawati, 2013: 7).
  5. ·Pariwisata atau turisme adalah suatu perjalanan yang dilakukan untuk rekreasi atau liburan serta juga persiapan yang dilakukan untuk aktivitas tersebut. Adapun menurut Organisasi Pariwisata Dunia, seorang wisatawan atau turis adalah orang yang melakukan perjalanan paling tidak sejauh 80 km (50 mil) dari rumahnya dengan tujuan melakukan rekreasi.

Unsur, Sifat, Asas, dan Tujuan Pariwisata


       Dari definisi-definisi tentang pariwisata di muka, kita dapat menarik sebuah benang merah atau intisari tentang pariwisata. Hakikatnya, pariwisata merupakan aktivitas yang dilakukan dengan tujuan utama memenuhi kebutuhan yang bersifat rohaniah, yakni tepatnya untuk mendapatkan berbagai bentuk hiburan, kesenangan, atau pengetahuan. Adapun bentuk kegiatannya berupa bepergian ke tempat lain (di luar tempat tinggal sendiri) dalam waktu yang terbatas (tertentu) serta dilakukan untuk sementara saja (tidak tinggal atau menetap secara permanen).

       Deskripsi tersebut memperlihatkan bahwa pariwisata memiliki unsur dan sifat tertentu. Dari unsur dan sifat ini kita akan dapat memahami makna dan hakikat pariwisata secara lebih tepat. Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur dan sifat pariwisata adalah sebagai berikut.
  1. Pariwisata merupakan sebuah kegiatan yang berbentuk perjalanan atau kunjungan.
  2. Perjalanan atau kunjungan dalam pariwisata dilakukan dalam waktu yang relatif terbatas.
  3. Perjalanan atau kunjungan yang dilakukan tidak dimaksudkan untuk tinggal di suatu tempat secara tetap, melainkan bersifat sementara.
  4. Perjalanan atau kunjungan dilakukan dari tempat asal ke tempat lain yang memiliki objek atau tujuan rekreasi dan hiburan.
  5. Perjalanan atau kunjungan tersebut tidak dilakukan dengan maksud mencari nafkah, melainkan semata-mata dalam rangka rekreasi (tamasya/piknik), mendapatkan hiburan/kesenangan, atau mendapatkan wawasan/pengetahuan baru.

       Sebagai kegiatan yang saat ini berkembang pesat dan memiliki peranan penting dalam perekonomian masyarakat dan negara, pariwisata menjadi bidang yang mendapat perhatian tidak kecil dari pemerintah. Pariwisata menjadi bidang yang melibatkan banyak komponen dalam masyarakat sehingga dipandang perlu diatur segi asas, fungsi, dan tujuannya melalui regulasi atau peraturan resmi. Oleh sebab itu, sejak beberapa tahun lalu, pengembangan bidang pariwisata dilakukan dengan landasan hukum dalam bentuk undang-undang, yakni UU No.10/2009.

       Di dalam UU No.10/2009, diatur banyak hal mendasar dan krusial di seputar pariwisata. Selain definisi pariwisata, seperti yang sudah dibahas di depan, dalam undang-undang tersebut juga diatur asas, fungsi, dan tujuan pariwisata. Menurut UU No.10/2009, asas, fungsi, dan tujuan pariwisata Indonesia berturut-turut adalah sebagai berikut.
  1. Kepariwisataan diselenggarakan berdasarkan asas (a) manfaat, (b) kekeluargaan, (c) adil dan merata, (d) keseimbangan, (e) kemandirian, (f) kelestarian, (g) partisipasi, (h) berkelanjutan, (i) demokrasi, (j) kesetaraan, dan (k) kesatuan.
  2. Kepariwisataan berfungsi memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan intelektual setiap wisatawan dengan rekreasi dan perjalanan serta meningkatkan pendapatan negara dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
  3. Kegiatan pariwisata bertujuan (a) meningkatkan pertumbuhan ekonomi; (b) meningkatkan kesejahteraan rakyat; (c) menghapus kemiskinan; (d) mengatasi pengangguran; (e) melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya; (f) memajukan kebudayaan; (g) mengangkat citra bangsa; (h) memupuk rasa cinta tanah air; (i) memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; serta (j) mempererat persahabatan antarbangsa.

Jenis-Jenis Pariwisata


       Pada waktu-waktu lampau, jenis-jenis pariwisata masih sedikit dan terbatas. Namun, dengan kian berkembangnya pariwisata sebagai bisnis dan industri serta ditunjang kemajuan teknologi –– terutama dalam bidang transportasi, informasi, dan komunikasi –– kini jenis-jenis pariwisata menjadi makin banyak dan beragam. Berikut ini dipaparkan jenis-jenis pariwisata yang saat ini dapat kita jumpai dan kita nikmati.

A.    Wisata Alam
       Wisata alam adalah wisata yang dilakukan untuk menikmati potensi alam. Aspek potensi alam yang dinikmati dalam hal ini adalah keindahannya, kesuburan tanahnya, kesejukan dan kesegaran udaranya, kekhasan flora dan faunanya, keunikan bentuk alamnya, dan sebagainya. Dari segi potensinya, maka wisata alam, antara lain, dapat dibagi menjadi jenis-jenis wisata sebagai berikut:
  1. wisata bahari, yang dapat terdiri atas aktivitas menyelam, berselancar, memancing, berlayar, dan sebagainya;
  2. wisata sungai dan danau, yang terdiri atas arung jeram, memancing, berkeliling naik perahu, dan sebagainya;
  3. wisata pegunungan, yang terdiri atas berkemah (camping), berkeliling jalan kaki (hiking), pendakian (climbing), dan sebagainya;
  4. wisata hutan/kebun raya, yang terdiri atas kegiatan menyaksikan kekhasan flora dan fauna;
  5. wisata pertanian/perkebunan, yang lazim dilakukan dalam bentuk kunjungan ke daerah pertanian/perkebunan untuk menikmati dan berbelanja hasil-hasil pertanian/perkebunan serta mempelajari cara-cara bercocok tanam dan berkebun yang benar;
  6. wisata lingkungan (ekowisata), yang biasanya berupa kunjungan ke objek konservasi alam, seperti suaka margasatwa, taman nasional, dan cagar alam, dan hutan lindung.

B.     Wisata Budaya
        Wisata budaya adalah wisata yang dilakukan untuk menikmati hasil budaya masyarakat suku atau etnik tertentu. Unsur atau aspek yang dilihat dan dinikmati meliputi keanekaragaman dan kekhasan hasil budaya. Dari segi bentuknya, wisata budaya, antara lain, dapat berupa jenis-jenis wisata sebagai berikut:
  1. wisata menyaksikan upacara dan tradisi adat, seperti sekaten, nyadran, kenduren, gerebek, hamis batar, ngaben, kesada, lompat batu, karapan sapi, tabuik, pasola, dan sisemba;
  2. wisata menyaksikan pentas teater tradisional, seperti ketoprak, wayang, ludruk, longser, lenong, mamanda, randai, dan makyong;
  3. wisata menyaksikan pentas tari tradisional, seperti seudati, serampang dua belas, jaipong, remo, kecak, serimpi, bedhaya, tortor, joged lambak, jangget, lenso, dan musyoh;
  4. wisata menyaksikan dan berbelanja hasil kerajinan dan seni rupa tradisional, seperti kain batik, kain tenun, patung asmat, lukisan bali, wayang kulit, dan ukiran jepara;
  5. wisata menyaksikan pertunjukan seni musik tradisional, seperti gamelan, sasando, angklung, dan keroncong.

C.    Wisata Sejarah
       Wisata sejarah adalah wisata yang dilakukan untuk menyaksikan benda-benda atau tempat-tempat peninggalan masa lalu (bersejarah) serta meningkatkan pengetahuan tentang nilai-nilai yang terdapat dalam benda dan tempat tersebut. Dengan kata lain, wisata sejarah adalah wisata yang dilakukan untuk melihat sekaligus menambah wawasan tentang benda dan tempat warisan  masa lalu. Dengan sifatnya yang kognitif (menekankan pengetahuan), wisata sejarah banyak dilakukan oleh kalangan pelajar dan mahasiswa. Wisata budaya, antara lain, dapat terdiri atas jenis-jenis wisata sebagai berikut:
  1. wisata keraton, yang merupakan kegiatan mengunjungi dan menyaksikan istana (keraton) peninggalan kerajaan-kerajaan tradisional masa lalu beserta hasil-hasil kebudayannya (seperti senjata tradisional, alat musik, kereta kuda, dan sebagainya);
  2. wisata candi, yang lazim berupa kegiatan mengunjungi dan menyaksikan candi-candi peninggalan kerajaan-kerajaan tradisional masa lalu yang biasanya bercorak Hindu-Buddha;
  3. wisata situs purbakala, yang merupakan aktivitas mengunjungi dan menyaksikan benda-benda dan daerah peninggalan zaman purba (seperti Sangiran, Jawa Tengah, dan Trinil, Jawa Timur);
  4. wisata museum, yang merupakan kegiatan mengunjungi museum serta menyaksikan berbagai benda-benda peninggalan masa lalu koleksi museum yang bersangkutan;
  5. wisata monumen, yang merupakan kegiatan mengunjungi dan menyaksikan bangunan tertentu (tugu, patung, gedung, dan sebagainya) yang didirikan sebagai pengingat atas peristiwa penting yang terjadi pada masa lalu. 

D.     Wisata Olahraga dan Petualangan
        Wisata olahraga adalah wisata yang dilakukan untuk menikmati kegiatan olahraga. Wisata olahraga dapat dikatakan sama atau mirip dengan wisata petualangan. Hal ini karena kegiatan olahraga yang dilakukan dalam wisata biasanya memang bercorak atau bersifat petualangan atau semua jenis petualangan yang dilakukan biasanya memang berupa kegiatan olahraga sehingga keduanya (wisata olahraga dan wisata petualangan) seringkali dianggap sama. Wisata olahraga atau wisata petualangan, antara lain, dapat berupa kegiatan-kegiatan wisata sebagai berikut:
  1. panjat tebing/panjat gunung (rock climbing), yang merupakan kegiatan memanjat, menaiki, atau mendaki tebing, bukit, atau gunung di daerah wisata pegunungan atau perbukitan;
  2. sepeda gunung (mountain bike), yang merupakan kegiatan mengendarai sepeda khusus dengan medan yang terjal dan berbukit-bukit di tempat wisata perbukitan atau pegunungan;
  3. menyelam (diving), yang merupakan kegiatan menyelam dengan perlengkapan khusus di kedalaman laut atau danau/telaga sembari menikmati keindahan pemandangan bawah air (berbagai satwa air, terumbu karang, dan sebagainya);
  4. berselancar, yang merupakan kegiatan mengarungi lautan dengan memanfaatkan ombak besar dengan menggunakan papan selancar;
  5. arung jeram, yang merupakan kegiatan mengarungi sungai yang berarus deras dan bertopografi terjal dengan menggunakan perahu karet;
  6. memancing, yang merupakan kegiatan menangkap ikan dengan kail di laut, danau, waduk, sungai, tambak, atau kolam baik dengan atau tanpa menggunakan perahu/kapal;
  7. berburu, yang merupakan aktivitas memburu dan menangkap jenis-jenis satwa tertentu dengan menggunakan senjata tertentu di hutan yang sudah ditetapkan lokasinya (satwa yang dijadikan buruan biasanya satwa yang tidak dilindungi dan cenderung menjadi hama, seperti babi hutan).

E.    Wisata Pendidikan
       Wisata pendidikan adalah wisata yang dilakukan ke objek atau tempat wisata tertentu dengan maksud dan tujuan mendapatkan data, informasi, dan/atau pengetahuan yang akan digunakan untuk mendukung kegiatan pembelajaran sekolah atau kuliah. Wisata pendidikan umumnya dilakukan oleh para pelajar sekolah dan mahasiswa terkait dengan mata pelajaran atau mata kuliah tertentu. Sebutan atau istilah yang dekat dan seringkali disandingkan atau disamakan dengan wisata pendidikan adalah darmawisata, karyawisata, study tour, dan field trip. Wisata pendidikan, antara lain, dapat berupa kegiatan-kegiatan wisata sebagai berikut:
  1. kunjungan dan studi ke pusat penyimpanan benda-benda peninggalan masa lalu, seperti museum;
  2. kunjungan dan studi ke daerah-daerah yang ditetapkan sebagai situs purbakala, seperti situs manusia purba;
  3. kunjungan dan studi ke lokasi berdirinya bangunan-bangunan bersejarah, seperti candi dan benteng;
  4. kunjungan dan studi ke pusat dokumentasi ilmu pengetahuan, seperti dokumentasi sastra dan budaya;
  5. kunjungan dan studi banding (komparasi) ke lembaga pendidikan yang dianggap memiliki keunggulan sumber daya dan khazanah keilmuan, seperti sekolah dan universitas tertentu;
  6. kunjungan dan studi ke pusat penyimpanan bahan-bahan pustaka atau literatur, seperti perpustakaan (nasional);
  7. kunjungan dan studi ke pusat kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti pusat riset dan pengembangan mikrobiologi.

F.    Wisata Religi (Agama)
       Wisata religi adalah wisata yang dilakukan untuk kepentingan agama. Wisata ini biasanya dilakukan untuk menambah atau memperdalam pengetahuan agama dalam upaya mempertebal keyakinan dan keimanan atas agama yang dianut. Wisata religi, antara lain, dapat berupa kegiatan-kegiatan wisata sebagai berikut:
  1. kunjungan ke tempat ibadah bersejarah yang pernah menjadi pusat penyebaran agama tertentu, seperti masjid dan gereja;
  2. ziarah ke makam para alim ulama dan tokoh besar agama masa lalu yang dianggap berjasa dalam penyebaran agama tertentu, seperti makam walisanga;
  3. kunjungan ke tempat-tempat yang dianggap suci bagi agama tertentu;
  4. kunjungan dan audiensi ke dan dengan tokoh atau pemuka agama untuk beramah tamah serta minta arahan dan bimbingan spiritual.

G.    Wisata Kuliner
        Wisata kuliner adalah wisata yang dilakukan dengan tujuan menikmati makanan (dan juga minuman) khas suatu daerah atau negara. Para wisatawan datang ke daerah atau objek wisata tertentu untuk menikmati hidangan makanan dan/atau minuman khas dari daerah atau objek wisata yang bersangkutan. Wisata ini biasanya dilakukan sambil menikmati objek atau atraksi wisata yang disajikan di lokasi tersebut. Wisata kuliner, di antaranya, dapat berupa kegiatan-kegiatan wisata seperti berikut:
  1. kunjungan ke objek wisata yang ada di Kota Palembang khususnya atau Sumatra Selatan umumnya untuk menikmati empek-empek;
  2. kunjungan ke pantai Parangtritis, Yogyakarta, dan menikmati makan siang dengan menu nasi gudek;
  3. kunjungan ke Kota Semarang untuk merasakan lezatnya lumpia dan wingko babat sambil menikmati unik dan bersejarahnya bangunan Lawang Sewu;
  4. kunjungan ke Kota Ponorogo untuk makan sate ayam ponorogo sambil menyaksikan pertunjukan reog;  
  5. kunjungan ke Kota Jakarta untuk menikmati hidangan soto betawi sembari mendengarkan musik tanjidor atau pertunjukan ondel-ondel;
  6. kunjungan ke Kota Solo untuk menikmati hidangan nasi liwet atau selad sembari menyaksikan pertunjukan ketoprak atau pentas wayang orang;
  7. kunjungan ke Provinsi Kalimantan Selatan untuk menikmati hidangan soto banjar sembari menyaksikan budaya masyarakat Dayak.    
H.   Wisata Konvensi
       Wisata konvensi adalah wisata yang dilakukan terkait dengan kegiatan pertemuan dalam bentuk konferensi, seminar, kongres, simposium, workshop, dan sejenisnya. Sebagai jenis wisata, wisata konvensi sebenarnya masih kontroversial dan debatable; banyak yang meragukannya sebagai kegiatan wisata. (Wisata) konvensi mungkin belum dapat sepenuhnya dikatakan sebagai kegiatan wisata (murni) karena unsur kesukarelaan (voluntary)  untuk melakukan wisata masih kabur. Dalam pertemuan besar, seperti konferensi, kongres, dan seminar, lebih menonjol unsur ilmiahnya dan kadang juga lebih mencuat aspek politiknya (terutama yang dilakukan antarnegara) dibanding unsur rekreasinya. Kegiatan tersebut tidak dengan sadar, sengaja, atau khusus diarahkan untuk melakukan rekreasi serta mendapatkan hiburan (kesenangan). Dalam konvensi, kegiatan yang menjadi agenda pokok atau utama adalah “pertemuan massal”, sedangkan kegiatan rekreasi –– jikapun dilakukan –– lebih bersifat sampingan.

Hakikat dan Urgensi Pemilihan Umum


       Apakah yang sesungguhnya disebut pemilihan umum (pemilu)? Mengapa pemilihan umum mesti dilakukan? Apa dan bagaimana kaitannya dengan demokrasi? Mengapa pemilihan umum disebut pesta demokrasi? Apa pula fungsinya dalam ketatanegaraan? Bagaimana mekanisme atau tata cara pemilihan umum yang lazim dilakukan? Bagaimanakah pula pelaksanaan pemilihan umum yang terjadi di Indonesia?

       Dalam demokrasi, pemimpin pemerintahan dan orang-orang yang duduk dalam lembaga perwakilan rakyat tidak dapat ditentukan dengan cara yang sembarangan. Agar keberadaan pemimpin pemerintahan sesuai dengan aspirasi umum dan orang-orang yang duduk dalam lembaga perwakilan rakyat memenuhi syarat representasi (keterwakilan), penentuannya harus dilakukan dengan sebuah pemilihan yang mengikutsertakan warga negara. Nah, kegiatan pemilihan yang mengikutsertakan warga negara itulah yang disebut dengan pemilihan umum.

       Keberadaan pemimpin pemerintahan (presiden, perdana menteri, gubernur, bupati, walikota, dan sebagainya) sangat penting dalam demokrasi karena mereka diserahi mandat oleh rakyat untuk memimpin kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Keberadaan orang-orang yang duduk dalam lembaga perwakilan juga tidak kalah pentingnya karena mereka diserahi tugas dan tanggung jawab untuk menyalurkan kehendak atau aspirasi rakyat serta mengawasi jalannya pemerintahan. Dengan posisinya yang penting tersebut, figur orang-orang yang (akan) menjadi pemimpin pemerintahan dan duduk dalam lembaga perwakilan harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu sehingga penentuannya harus dilakukan melalui pemilihan oleh warga negara (rakyat) sebagai pemilik kedaulatan negara, bukan ditunjuk atau diangkat berdasarkan kepentingan-kepentingan sempit oleh pihak-pihak tertentu.

       Cara atau mekanisme yang dianggap dapat menjadi sarana pemilihan semacam itu tidak lain adalah pemilihan umum. Sejauh ini pemilihan umum masih menjadi cara yang dianggap paling tepat dan paling baik untuk menentukan pemimpin pemerintahan dan wakil rakyat. Di semua negara yang menganut sistem demokrasi, pemilihan umum menjadi mekanisme yang utama, rutin, wajib, dan tak tergantikan dalam menentukan pemimpin pemerintahan dan wakil rakyat. Pemilihan umum tidak saja menjadi mekanisme pendukung utama demokrasi, melainkan juga dengan bentuknya yang mengikutsertakan pendapat dan pilihan rakyat sekaligus memperlihatkan karakter demokrasi yang kuat dan tinggi.

       Pemilihan umum dapat dikatakan wahana utama sekaligus pintu pertama untuk melaksanakan demokrasi. Demokrasi disebut sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat; dan pertama-tama melalui pemilihan umumlah pendapat atau aspirasi rakyat untuk memilih pemimpin dan para wakilnya dilakukan. Melalui pemilihan umum, dapat ditemukan dan ditentukan pemimpin dan para wakil rakyat yang dikehendaki rakyat. Baru setelah pemimpin dan para wakil rakyat terpilih, kegiatan pemerintahan serta kehidupan berbangsa dan bernegara dapat dilakukan.

       Di negara demokrasi, semua warga negara memiliki kesempatan yang sama dalam pemerintahan dan lembaga perwakilan. Oleh sebab itu, setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk mencalonkan diri menjadi pemimpin pemerintahan dan anggota lembaga perwakilan. Di sisi lain, rakyat juga memiliki hak untuk menentukan pilihan pada calon-calon pemimpin pemerintahan dan anggota lembaga perwakilan. Pencalonan pemimpin pemerintahan dan anggota lembaga perwakilan serta pemilihannya oleh rakyat dilakukan dalam sebuah “pesta” yang disebut pemilihan umum sehingga pemilihan umum seringkali disebut sebagai “pesta demokrasi”. Dalam pesta demokrasi, para calon pemimpin pemerintahan dan anggota perwakilan berlomba-lomba menarik simpati dan pilihan rakyat melalui kampanye, sementara kampanye menjadi ajang penilaian rakyat untuk menjatuhkan pilihan pada para calon pemimpin pemerintahan dan anggota perwakilan yang muncul.

A.    Pengertian Pemilihan Umum
       Uraian di atas menunjukkan bahwa pemilihan umum merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui pilihan warga negara (rakyat) atas calon pemimpin pemerintahan dan anggota lembaga perwakilan. Melalui pemilihan umum, rakyat menjatuhkan pilihan pada para calon (pemimpin pemerintahan dan anggota lembaga perwakilan) yang tampil berdasarkan program-program yang ditawarkan oleh para calon. Terlepas dari program-program tersebut akan dilaksanakan sesuai dengan janji-janji selama kampanye atau tidak, para calon yang memperoleh suara terbanyaklah yang akan terpilih menjadi pemimpin pemerintahan dan anggota lembaga perwakilan.

       Dengan demikian, pemilihan umum dapat didefinisikan sebagai pemilihan yang dilakukan secara serentak oleh seluruh rakyat suatu negara untuk memilih atau menentukan pemimpin pemerintahan dan wakil rakyat dalam lembaga perwakilan. Itulah definisi pemilihan umum yang dapat diberikan dalam konteks global yang berlaku di dunia internasional –– terutama di negara-negara yang menganut sistem demokrasi. Adapun dalam konteks Indonesia, pemilihan umum dapat diartikan sebagai kegiatan pemilihan secara serentak yang dilakukan oleh seluruh warga negara yang sudah memiliki hak pilih untuk memilih (menentukan) kepala pemerintahan (presiden/wakil presiden, gubernur/wakil gibernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota) serta anggota lembaga perwakilan (DPR, DPD, dan DPRD).

       Pemilihan umum lazim dilakukan secara periodik berdasarkan masa kepemimpinan pemerintahan dan masa keanggotaan lembaga perwakilan. Di Amerika Serikat, misalnya, pemilihan umum dilakukan empat tahun sekali karena masa jabatan presiden/wakil presiden serta keanggotaan lembaga perwakilan ditetapkan selama empat tahun, sedangkan di Indonesia pemilihan umum dilakukan lima tahun sekali karena masa jabatan presiden/wakil presiden dan kepala daerah serta keanggotaan DPR, DPD, dan DPRD ditetapkan lima tahun. Dalam keadaan tertentu yang mendesak (darurat), pemilihan umum dapat dilakukan kurang dari waktu yang ditentukan. Misalnya saja, di negara yang pemerintahnya mengalami kejatuhan akibat kehilangan kredibilitas dan legitimasi dari rakyat, pelaksanaan pemilihan umum untuk menentukan kepala pemerintahan baru dapat dipercepat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya kekosongan pemerintahan (vacuum of power) dan berlarut-larutnya situasi darurat.

       Adapun dalam situasi tertentu yang lain, pemilihan umum justru dilakukan melebihi ketentuan waktu yang ditetapkan atau bahkan sama sekali tidak dilakukan –– meskipun berdasarkan ketentuan harus dilakukan secara periodik. Misalnya, di tengah terjadinya penyimpangan pemerintahan –– dari demokrasi menjadi otoriter –– pemilihan umum yang mestinya dilakukan setiap beberapa tahun sekali, waktu pelaksanaannya menjadi diperpanjang sampai batas waktu yang tidak jelas atau bahkan sama sekali ditiadakan. Hal ini biasanya terjadi karena kepala pemerintahan atau rezim penguasa sangat berambisi memperpanjang atau melanggengkan kekuasaannya tanpa peduli dengan ketentuan yang sudah disepakati dan ditetapkan.

B.    Pemilihan Umum sebagai Tolok Ukur Demokrasi
       Kegiatan pemilihan umum merupakan wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat. Dalam pemilihan umum, dilakukan penjaringan suara rakyat untuk memilih kepala pemerintahan dan anggota lembaga perwakilan. Kepala pemerintahan dipilih untuk memimpin kegiatan pemerintahan, sedangkan anggota lembaga perwakilan dipilih untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat sekaligus mengawasi jalannya pemerintahan. Hasil-hasil pemilihan umum merupakan wujud aspirasi atau kehendak rakyat tentang pemimpin dan wakil rakyat yang akan diserahi mandat untuk mengelola kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

       Dengan fungsinya yang penting dan menentukan sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat tersebut, pemilihan umum menjadi tolok ukur demokrasi. Pelaksanaan demokrasi diukur dari pelaksanaan pemilihan umum. Melalui pemilihan umum dapat dilihat praktik berdemokrasi di suatu negara. Suatu negara dapat dikatakan sebagai negara demokrasi jika mampu menyelenggarakan pemilihan umum secara baik. Adapun syarat atau kriteria pemilihan umum yang baik adalah yang dilakukan secara periodik, bebas, jujur, adil, dan damai.

Pemilihan Umum di Indonesia


       Sistem atau model pemilihan umum yang digunakan oleh negara-negara demokrasi di dunia secara umum memiliki perbedaan. Sistem yang dipilih biasanya disesuaikan dengan bentuk negara, jumlah penduduk, dan luas wilayah. Di suatu negara sistem pemilihan umum yang digunakan juga dapat berubah-ubah sesuai dengan perkembangan yang terjadi dalam berbagai aspek, terutama bidang politik dan partai politik peserta pemilihan umum.

       Sejak merdeka dan terbentuk menjadi negara hingga tahun 2012, Indonesia sudah sepuluh kali menyelenggarakan pemilihan umum. Pemilihan umum pertama dilakukan tahun 1955. Pemilihan umum berikutnya berturut-turut dilakukan pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, dan 2009. Pemilihan umum mendatang berikut, jika situasi dan kondisinya normal, akan diadakan tahun 2014, 2019, dan seterusnya (setiap lima tahun sekali).

       Pelaksanaan pemilihan umum yang dilakukan lebih dari lima tahun sekali dan kurang dari lima tahun sekali pernah terjadi di Indonesia. Keduanya terjadi akibat penyimpangan dan situasi darurat. Pada periode 1945–1970 (25 tahun) pemilihan umum hanya dilakukan satu kali, yakni tahun 1955, akibat penyimpangan konstitusi yang dilakukan pemerintahan Orde Lama. Adapun selama periode 1997–1999 (hanya 2 tahun), pemilihan umum dilakukan hingga dua kali (tahun 1997 dan 1999) akibat pada tahun 1998 pemerintahan Orde Baru mengalami kejatuhan oleh gerakan reformasi.

       Enam kali pemilihan umum yang dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997) dianggap sebagai pemilihan umum yang tidak demokratis karena sangat terasa unsur rekayasanya. Dalam enam kali pemilihan umum tersebut hampir selalu terjadi pemaksaan dan kecurangan yang sistematis sehingga Golkar (Golongan Karya) –– sebagai partai pemerintah –– selalu keluar menjadi pemenang. Pemilihan umum tahun 1955 dinilai sebagai pemilihan umum yang sangat demokratis dan paling jujur. Adapun pemilihan umum pada era reformasi (1999, 2004, dan 2009) umumnya dianggap berlangsung demokratis, tetapi unsur jujur dan adilnya masih dipertanyakan.

       Namun, bagaimanapun juga, pemilihan umum pada era reformasi secara umum jauh lebih baik daripada pemilihan umum pada masa pemerintahan Orde Baru. Pemilihan umum era reformasi sudah dilakukan dengan kontestan yang multipartai, diselenggarakan oleh lembaga yang independen, dan relatif lebih bebas dari intimidasi. Era reformasi membuka harapan bagi dilakukannya pemilihan umum yang lebih demokratis, bebas, jujur, adil, dan damai untuk waktu-waktu yang akan datang.

       Satu hal yang membedakan secara signifikan pemilihan umum era reformasi dengan pemilihan-pemilihan umum sebelumnya adalah pemilihan umum era reformasi (sejak pemilu 2004) selain diadakan untuk memilih anggota DPR dan DPRD, juga untuk memilih anggota lembaga tinggi baru yang disebut DPD (Dewan Perwakilan Daerah) serta memilih secara langsung pasangan presiden-wakil presiden. Hal terakhir ini dilakukan sebagai konsekuensi adanya amendemen UUD 1945. Berdasarkan hasil amendemen UUD 1945, presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum.

       Dalam banyak hal, pemilihan umum pada era reformasi sudah dilakukan dengan cara-cara yang lebih baru dan modern. Dengan landasan UUD 1945 hasil amendemen dan beberapa undang-undang baru, pemilihan umum pada era reformasi dilakukan dengan tujuan lebih memperkuat pelaksanaan demokrasi. Berikut ini dijelaskan beberapa komponen, ketentuan, dan beberapa hal penting lain yang terkait dengan pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia, terutama pada era reformasi.

Komponen dan Kelengkapan Pemilihan Umum


1.    Komisi Pemilihan Umum (KPU)
       Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan badan atau lembaga penyelenggara pemilihan umum yang bersifat tetap dan independen (mandiri). KPU terdiri atas KPU pusat, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota. KPU pusat merupakan penyelenggara pemilihan umum di tingkat nasional, KPU provinsi merupakan penyelenggara pemilihan umum di provinsi, serta KPU kabupaten/kota merupakan penyelenggara pemilihan umum di kabupaten  dan kota.

       Tugas dan fungsi utama KPU adalah merencanakan, mempersiapkan, dan memimpin jalannya pelaksanaan pemilihan umum melalui tahap-tahap yang sudah ditetapkan, mulai dari pendaftaran, melakukan penelitian, melakukan seleksi dan penetapan peserta yang berhak mengikuti pemilihan umum, serta melakukan evaluasi terhadap sistem pemilihan umum yang diterapkan. Untuk menjalankan tugas dan fungsinya, KPU membentuk sembilan divisi. Kesembilan divisi tersebut sebagai berikut:

  • divisi peserta pemilihan umum; 
  • divisi pendidikan dan informasi pemilihan umum; 
  • divisi pendaftaran penduduk/pemilih dan pencalonan;
  • divisi logistik pemilihan umum;
  • divisi pemungutan suara dan penetapan hasil pemilihan umum;
  • divisi hukum;
  • divisi organisasi, personil, dan keuangan pemilihan umum;
  • divisi kajian dan pengembangan pemilihan umum; serta
  • divisi hubungan antarlembaga.

2.    Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
       Pada era reformasi, pemilihan umum dilakukan dengan pengawasan khusus oleh lembaga yang disebut Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Badan Pengawas Pemilu merupakan lembaga yang dibentuk dengan tugas mengawasi penyelenggaraan pemilihan umum di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Untuk melakukan pengawasan pelaksanaan pemilihan umum di daerah-daerah, Bawaslu membentuk Panitia Pengawas Pemilu Provinsi (Panwaslu Provinsi) dan Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota (Panwaslu Kabupaten/Kota). Panwaslu Provinsi bertugas mengawasi pelaksanaan pemilihan umum di wilayah provinsi, sedangkan Panwaslu Kabupaten/Kota bertugas melakukan pengawasan pemilihan umum di wilayah kabupaten/kota.

       Pengawasan terhadap kegiatan pemilihan umum oleh lembaga independen dipandang perlu dilakukan sebagai upaya mencegah dan menanggulangi terjadinya kecurangan dan ketidakjujuran dalam pelaksanaan pemilihan umum. Dalam pemilihan-pemilihan umum era Orde Baru tidak ada badan pengawas pemilihan umum yang benar-benar independen sehingga pemilihan umum masa Orde Baru seringkali atau bahkan hampir selalu berlangsung tidak jujur dan tidak adil. Pembentukan Bawaslu pada era reformasi merupakan jawaban atas berbagai pertanyaan dan keraguan masyarakat tentang kejujuran dan keadilan pelaksanaan pemilihan umum. Pembentukan Bawaslu diharapkan lebih membuat pelaksanaan pemilihan umum berjalan bebas, jujur, dan adil.

3.    Kontestan
       Kontestan adalah partai politik atau calon kepala pemerintahan (calon presiden-wakil presiden, calon gubernur-wakil gubernur, calon bupati-wakil bupati, dan calon walikota-wakil walikota) peserta pemilihan umum. Dalam pemilihan umum, partai politik dan calon kepala pemerintahan saling bersaing untuk mendapatkan dukungan dan suara pemilih (rakyat). Untuk menjadi peserta pemilihan umum, partai politik dan calon kepala pemerintahan diwajibkan memenuhi kriteria atau persyaratan tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi partai politik untuk menjadi peserta pemilihan umum adalah sebagai berikut:

  • memiliki akta notaris pendirian partai politik;
  • berstatus badan hukum sesuai dengan undang-undang tentang partai politik;
  • mendaftar sebagai peserta pemilihan umum kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU);
  • memiliki kepengurusan di dua per tiga dari jumlah provinsi di Indonesia;
  • memiliki kepengurusan di dua per tiga dari jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;
  • menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai tingkat pusat;
  • memiliki anggota sekurang-kurangnya seribu orang atau satu per seribu dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota;
  • memiliki kantor tetap untuk kepengurusan partai politik; 
  • mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU;
  • nama dan tanda gambar partai politik tidak dibenarkan memiliki kesamaan dengan
  • bendera atau lambang negara Republik Indonesia;
  • lambang lembaga negara atau lambang pemerintahan;
  • nama, bendera, dan lambang negara lain atau lembaga/badan internasional;
  • nama, bendera, dan simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang;
  • nama atau gambar seseorang;
  • nama, lambang, atau tanda gambar partai politik lain.
       Jumlah partai politik peserta pemilihan umum di Indonesia seringkali berubah-ubah. Pada pemilihan umum tahun 1955 tercatat ada 27 partai politik yang menjadi peserta. Pemilihan umum tahun 1971 diikuti oleh 10 partai politik, sementara pemilihan umum tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 hanya diikuti oleh tiga partai politik. Sedikitnya partai politik yang mengikuti pemilihan umum pada masa Orde Baru tersebut disebabkan oleh pembatasan yang dilakukan pemerintahan pimpinan Presiden Soeharto yang ketika itu bersikap otoriter dan represif. Jumlah peserta pemilihan umum kembali meningkat tajam pada pemilihan umum masa reformasi tahun 1999 (48 partai politik), 2004 (24 partai politik), dan 2009 (44 partai politik).

       Sementara itu, para calon kepala pemerintahan yang menjadi peserta pemilihan umum juga dikenai keharusan untuk memenuhi sejumlah persyaratan. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh para calon kepala pemerintahan (terutama calon presiden-wakil presiden) dalam mengikuti pemilihan umum, antara lain, sebagai berikut:

  • warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri;
  • setia terhadap Pancasila dan UUD 1945;
  • menjaga dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI);
  • tidak pernah melakukan pengkhianatan terhadap negara;
  • mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajibannya.

4.    Konstituen
       Konstituen tidak lain adalah rakyat pemilih dalam kegiatan pemilihan umum. Tidak semua rakyat (warga negara) memiliki hak untuk memilih dalam pemilihan umum. Hanya warga negara yang memenuhi syarat atau kriteria tertentu yang memiliki hak pilih. Rakyat yang memiliki hak pilih dalam pemilihan umum adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:

  • warga negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah/pernah menikah;
  • warga negara Indonesia yang telah dimasukkan atau dicacat dalam daftar pemilih oleh penyelenggara pemilihan umum.
       Konstituen di Indonesia secara umum masih belum menunjukkan kematangan dan kedewasaan dalam memberikan pilihan politik terhadap para kontestan. Mereka masih mudah terpengaruh oleh pertimbangan-pertimbangan di luar aspek kompetensi (kecakapan) dan integritas para kontestan. Bahkan, mereka masih mudah dipengaruhi imbalan materi dan uang yang diberikan/dijanjikan oleh kontestan. Hal ini seringkali dimanfaatkan para kontestan untuk melakukan politik uang (money politics) dalam upaya mandapatkan dukungan dan suara.

       Kurangnya kematangan dan kedewasaan para konsituen dalam memberikan pilihan politik umumnya disebabkan oleh masih rendahnya pendidikan dan kurangnya kesadaran politik rata-rata konstituen. Selain itu, rendahnya kemampuan ekonomi (tingkat pendapatan) juga seringkali menjadi kendala dalam memberikan pilihan yang tepat terhadap para kontestan. Konstituen yang kemampuan ekonominya rendah cenderung mudah memberikan pilihan terhadap kontestan berdasarkan imbalan uang atau materi yang diberikan oleh kontestan. Upaya kontestan memberikan imbalan materi atau uang untuk mendapatkan dukungan dan suara dari konstituen (money politics) sebenarnya dilarang undang-undang, tetapi kenyataannya masih sering dan banyak dilakukan (secara terselubung) oleh para kontestan.

5.    Kampanye
       Untuk mendapatkan suara, para peserta (kontestan) pemilihan umum berusaha menarik simpati dan dukungan dari para pemilih (konstituen). Upaya kontestan menarik simpati dan dukungan dari para pemilih untuk meraih suara sebanyak-banyaknya dilakukan melalui sebuah mekanisme atau kegiatan yang disebut kampanye. Kampanye merupakan sarana bagi para kontestan pemilihan umum untuk memperkenalkan diri sekaligus menyosialisasikan program, visi, dan misinya kepada massa pemilih.

       Sementara di sisi lain, kampanye akan dimanfaatkan oleh massa pemilih untuk menilai kualitas dan kompetensi para kontestan. Melalui orasi (pidato) yang disampaikan para kontestan dalam kampanye, para pemilih dapat mengetahui tingkat kecakapan (kompetensi) para kontestan dalam menjalankan tugasnya kelak sebagai kepala pemerintahan atau anggota lembaga perwakilan. Hasil penilaian terhadap penampilan kontestan dalam kampanye tersebut akan dijadikan bahan pertimbangan oleh para pemilih dalam menjatuhkan pilihan atau memberikan suara kepada para kontestan.

       Kampanye lazim dilakukan sebelum kegiatan  pemungutan suara berlangsung. Waktu dimulainya pelaksanaan kampanye biasanya ditentukan beberapa minggu sebelum hari pemungutan suara tiba. Lembaga penyelenggara pemilihan umum (KPU) akan memberikan kesempatan yang sama kepada setiap kontestan untuk melakukan kampanye.

       Tata cara dan jadwal kegiatan kampanye dibuat dan ditetapkan oleh KPU. Jadwal kampanye disusun sedemikian rupa sehingga di suatu lokasi atau wilayah tertentu dua kontestan tidak melakukan kampanye secara bersamaan. Pengaturan jadwal seperti ini dianggap harus dilakukan mengingat kampanye rawan menimbulkan benturan dan konflik di antara pendukung para kontestan. Berikut ini dipaparkan beberapa ketentuan lain tentang kegiatan kampanye dalam pemilihan umum di Indonesia.

  • Selama kampanye kontestan dilarang mempersoalkan dasar negara Pancasila, UUD 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  • Kampanye tidak boleh dilakukan dengan cara yang membahayakan keutuhan dan keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  • Tema kampanye adalah program, visi, dan misi yang dibawa oleh setiap kontestan.
  • Setiap kontestan memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama selama kampanye.
  • Kampanye tidak boleh dilakukan dengan biaya dan fasilitas negara. 
  • Selama kampanye, setiap kontestan dilarang melakukan black campaign, yakni kampanye yang isinya menghina, menjelek-jelekkan, dan menjatuhkan kontestan lain. 
  • Kampanye tidak boleh dilakukan dengan melibatkan warga negara yang tidak/belum memiliki hak pilih (termasuk anak-anak di bawah umur). 
  • Kampanye tidak boleh dilakukan dengan menggunakan tempat ibadah dan pendidikan.
  • Kampanye tidak boleh dilakukan dengan cara menjanjikan atau memberikan uang atau materi kepada peserta kampanye (money politics).

       Kampanye dapat dilakukan dengan berbagai cara atau metode. Dalam melakukan kampanye para kontestan diberi kebebasan untuk menggunakan kreativitasnya masing-masing. Berdasarkan ketentuan undang-undang, kegiatan kampanye dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:

  • rapat umum,
  • pertemuan terbatas,
  • pertemuan tatap muka,
  • memanfaatkan media massa cetak dan elektronik,
  • penyebaran bahan kampanye kepada umum,
  • pemasangan alat peraga di tempat umum,
  • kegiatan-kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan kampanye dan peraturan perundang-undangan.

Pengertian Demokrasi


       Apakah yang sebenarnya disebut demokrasi? Apa kaitan demokrasi dengan rakyat, negara, dan politik?  Demokrasi terkait dengan rakyat dan negara. Suatu negara tidak akan dapat berdiri atau tegak tanpa rakyat. Rakyatlah yang pertama dan utama menjadi faktor penentu terbentuknya suatu negara. Suatu negara akan terbentuk jika sekumpulan individu yang disebut rakyat menghendakinya demikian. Dan demokrasi akan terlihat jelas manakala negara yang terbentuk didasarkan pada kedaulatan rakyat.
       Negara yang kedaulatan tertingginya berada di tangan rakyat disebut negara demokrasi. Pelaksanaan demokrasi dalam suatu negara didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu sehingga negara demokrasi dengan sendirinya juga akan memiliki ciri-ciri dan nilai-nilai tertentu. Namun, demokrasi sulit atau tidak akan dapat bertahan jika pelaksanaannya tidak ditopang oleh faktor-faktor pendukung. Sebagai sebuah konsep, demokrasi perlu kita ketahui makna dan pengertiannya. Adapun sebagai praktik dalam ketatanegaraan, demokrasi juga perlu kita pahami prinsip, ciri, nilai, dan faktor-faktor pendukungnya.
       Kata demokrasi sesungguhnya berasal dari kata bahasa asing, yakni bahasa Yunani. Dalam bahasa Yunani, kata demokrasi terdiri atas dua kata, yakni demos dan cratos atau crateinDemos memiliki makna ‘rakyat’ atau ‘penduduk’, sedangkan cratosatau cratein bermakna ‘kedaulatan’ atau ‘kekuasaan’. Jadi, secara harfiah atau kata demi kata, demokrasi mengandung makna ‘kedaulatan rakyat’ atau ‘kedaulatan penduduk’.
       Pengertian demokrasi telah banyak disampaikan oleh para tokoh serta pakar politik dan pemerintahan. Berikut ini diberikan beberapa contoh pengertian demokrasi yang disam-paikan tokoh dan ahli.
  1. Para ahli yang tergabung dalam tim redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia(2002: 249) memberi pengertian demokrasi sebagai berikut. (a) Demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya (pemerintahan rakyat). (b) Demokrasi adalah gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.
  2. Carol Gould menyatakan, demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang di dalamnya rakyat memerintah sendiri, baik melalui keikutsertaan langsung dalam merumuskan keputusan yang mempengaruhi mereka maupun dengan cara memilih wakil-wakil mereka.
  3. Henry Mayo (dalam Budiardjo, 2006: 61) menegaskan, demokrasi adalah suatu sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh para wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan berkala yang didasarkan pada prinsip kesamaan politik dan dilakukan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.
  4. Sidney Hook menyatakan, demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang di dalamnya keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas oleh rakyat dewasa.
  5. Abraham Lincoln menyatakan, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Prinsip Demokrasi

       Dari beberapa pengertian demokrasi, dapat diambil beberapa intisari. Dalam demokrasi, terdapat dua unsur pokok, yakni ‘rakyat’ atau orang banyak dan ‘kedaulatan’ atau kekuasaan.  Dalam demokrasi, rakyat atau orang banyak adalah pemegang kedaulatan atau kekuasaan tertinggi.       
       Sebagai pemegang kedaulatan, rakyat atau orang banyak menyerahkan mandat kepada pemerintah untuk menjalankan negara. Penyelenggaraan negara oleh pemerintah itu sendiri dikontrol oleh rakyat atau orang banyak, baik secara langsung maupun melalui sistem perwakilan. Penyelenggaraan negara oleh pemerintah juga tidak boleh dilakukan dengan sembarangan, tetapi dilakukan berdasarkan aspirasi rakyat atau orang banyak serta ditujukan pula untuk memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan rakyat atau orang banyak.
       Rakyat atau orang banyak mencakup semua unsur atau pihak yang terdapat dalam suatu negara atau komunitas masyarakat. Orang-orang pemerintah yang menyelengga-rakan negara pun adalah termasuk anggota atau bagian dari rakyat atau orang banyak. Hal ini karena mereka yang duduk dalam pemerintahan lazim diseleksi, dipilih, dan diangkat dari kalangan rakyat atau orang banyak.
       Dengan demikian, dalam suatu negara atau masyarakat demokrasi, hakikatnya, semua pihak atau semua unsur hendak diperhatikan dan diperjuangkan aspirasi, kepentingan, dan kesejahteraannya. Dalam demokrasi tidak ada upaya untuk menonjolkan atau mengistimewakan individu (pribadi), kelompok, golongan, atau pihak-pihak tertentu saja.  Dalam demokrasi, prinsip yang diutamakan adalah persamaan, kesederajatan, dan kebersamaan. Demokrasi didasarkan pada prinsip kedaulatan rakyat yang mengandung pengertian bahwa semua manusia (individu rakyat) pada hakikatnya memiliki kebebasan serta hak dan kewajiban yang sama.

       Nah, jika dalam suatu negara atau masyarakat hal-hal tersebut di atas tidak terpenuhi, maka negara atau masyarakat itu tidak dapat dikatakan sebagai negara atau masyarakat demokrasi. Negara atau masyarakat yang lebih menonjolkan ambisi, aspirasi, dan kepentingan pribadi dan golongan tertentu, bukanlah negara atau masyarakat demokrasi. Negara atau masyarakat yang demikian, walaupun mungkin mengatasnamakan atau mengklaim diri sebagai negara atau masyarakat demokrasi, dalam kenyataannya boleh jadi malah lebih pantas menyandang predikat lain yang berlawanan dengan demokrasi.

Ciri-Ciri Demokrasi


       Negara atau masyarakat demokrasi tidak dapat diklaim hanya lewat pengakuan atau pengatasnamaan. Kita tidak dapat menggolongkan suatu negara atau masyarakat sebagai negara atau masyarakat demokrasi hanya karena ada pengakuan atau klaim bahwa negara atau masyarakat itu hidup dalam iklim demokrasi. Namun, suatu negara atau masyarakat dapat dikatakan hidup dalam iklim demokrasi jika negara atau masyarakat tersebut memiliki ciri-ciri demokrasi.
       Apa saja ciri-ciri demokrasi itu? Ciri-ciri demokrasi terkait dengan adanya prasarana demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Prasarana demokrasi adalah segala sesuatu yang mendukung terwujudnya demokrasi, seperti prinsip demokrasi dan lembaga demokrasi. Dengan demikian, ciri-ciri suatu negara atau masyarakat demokrasi adalah negara atau masyarakat yang memiliki dan menjalankan prinsip demokrasi dan memiliki lembaga-lembaga demokrasi. Berikut ini dijelaskan lebih lanjut tentang ciri-ciri yang dimaksud.
  1. Negara atau masyarakat yang menganut prinsip demokrasi  berpegang pada ketentuan atau asas bahwa kedaulatan tertinggi dalam negara atau masyarakat berada di tangan rakyat. Berdasarkan hal ini, maka penentuan atas hal-hal pokok dalam kehidupan negara atau masyarakat dilakukan atas dasar kehendak dan kepentingan rakyat atau orang banyak. Adapun dalam kehidupan negara atau masyarakat dianut asas bahwa pada dasarnya setiap warga negara atau anggota masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang sama, kedudukan yang sederajat, serta harus mendapat perlakuan yang sama.
  2. Negara atau masyarakat yang memiliki lembaga demokrasi adalah negara atau masyarakat yang memiliki badan atau organisasi sebagai pelaksana kegiatan demokrasi. Lembaga demokrasi memungkinkan kedaulatan rakyat atau orang banyak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Lembaga demokrasi biasanya berupa pemerintah, lembaga perwakilan rakyat, partai politik, badan peradilan, dan media massa (pers).
  • Pemerintah adalah organisasi yang melakukan penyelenggaraan kegiatan bernegara. Mereka yang duduk dalam pemerintahan sebagian ditentukan lewat pemilihan umum, sebagiannya lagi diangkat. Pemerintah diserahi mandat untuk mengelola negara dan memperjuangkan kepentingan rakyat atau orang banyak melalui pembangunan. Pemerintah juga diberi wewenang untuk membuat berbagai peraturan hidup bermasyarakat dan bernegara (membuat peraturan perundang-undangan).
  • Lembaga perwakilan rakyat adalah badan atau organisasi yang beranggotakan orang-orang yang mewakili rakyat atau orang banyak untuk menyalurkan aspirasi dan kepentingan rakyat atau orang banyak. Para anggotanya ditentukan melalui pemilihan umum. Lembaga ini diberi tugas mengawasi kegiatan penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh pemerintah. Bersama pemerintah, lembaga ini juga diberi wewenang untuk membuat peraturan perundang-undangan.
  •  Partai politik adalah organisasi yang melalui pemilihan umum berusaha meraih suara dan dukungan rakyat atau orang banyak untuk memperoleh kekuasaan atau kedudukan dalam pemerintahan atau lembaga perwakilan rakyat. Untuk memperoleh suara dan dukungan dari rakyat atau orang banyak, lembaga ini memperkenalkan dan menyebarluaskan program-program yang berisi kegiatan perbaikan kehidupan rakyat atau orang banyak dan negara.
  • Badan peradilan atau pengadilan merupakan lembaga yang bertugas dan berwenang memberi putusan (vonis) atas berbagai masalah hukum, seperti tindak kejahatan (tindak pidana) dan konflik antarwarga masyarakat atau antarlembaga. Lembaga pengadilan bertanggung jawab untuk menangani dan menyelesaikan berbagai kasus hukum dalam usaha menegakkan keadilan serta menciptakan ketertiban, keamanan, ketenteraman, ketenangan, keharmonisan, dan nilai-nilai positif lain yang diperlukakan dalam kehidupan masyarakat.
  • Media massa adalah lembaga yang betugas melakukan kegiatan pemberitaan atau memberi informasi kepada rakyat atau orang banyak. Media massa meliputi media massa cetak (surat kabar, majalah, dan sebagainya) dan media massa elektronik (televisi, radio, dan sebagainya). Melalui pemberitaan media massa, semua kegiatan lembaga yang ada dalam negara dapat diketahui oleh rakyat atau orang banyak sehingga memungkinkan untuk diajukan kritik, koreksi, dan saran jika terjadi kekeliruan, penyalahgunaan, atau penyelewengan.

Nilai-Nilai Demokrasi


       Demokrasi juga memiliki nilai-nilai tersendiri. Suatu masyarakat, bangsa, atau negara layak disebut sebagi komunitas demokrasi manakala memiliki dan mempraktikkan nilai-nilai demokrasi. Negara atau masyarakat yang memiliki nilai demokrasi adalah negara atau masyarakat yang memiliki sikap, perilaku, kebiasaan, dan budaya demokrasi. Sikap, perilaku, kebiasaan, dan budaya demokrasi, antara lain, tampak dari hal-hal berikut ini:
  1. kesediaan untuk menyerahkan jabatan atau kekuasaan kepada pihak lain;
  2. kesediaan untuk diawasi, dikritik, dan dikoreksi;
  3. kesediaan untuk mengutamakan kepentingan dan ketertiban umum;
  4. kesadaran untuk menerapkan kebebasan, keadilan, dan persamaan;
  5. adanya keikutsertaan dalam membuat keputusan dan kebijakan bersama;
  6. adanya persaingan yang dilakukan secara sehat, bebas, jujur, dan adil;
  7. adanya pengakuan terhadap persamaan hak dan kewajiban;
  8. toleran terhadap perbedaan dan kemajemukan;
  9. kesadaran akan pentingnya hukum dan ketaatan terhadapnya,
  10. kesediaan untuk melakukan kerja sama dengan pihak lain; serta
  11. kesadaran dan kesediaan untuk melaksanakan pemilihan umum.
       Dalam pandangan para pakar politik, demokrasi yang ideal adalah tatanan yang memiliki atau mengandung nilai-nilai tertentu. Sebuah tatanan yang demokratis memiliki standar nilai. Menurut Henry B. Mayo, ahli politik yang pendapatnya seringkali dikutip dalam pembahasan seputar ketatanegaraan, demokrasi yang ideal adalah yang memiliki nilai-nilai sebagai berikut (dalam Syukur, et al., 2005: 21):
  1. menyelesaikan perselisihan secara damai dan melembaga,
  2. menjamin setiap proses perubahan dalam kehidupan masyarakat secara damai melalui kebijakan-kebijakan yang terkendali,
  3. menyelenggarakan pergantian pemimpin secara teratur dan damai,
  4. menekan seminimal mungkin penggunaan kekerasan,
  5. mengakui dan menghormati perbedaan atau keanekaragaman dalam masyarakat, serta
  6. menjamin tegaknya keadilan.
       Jika keenam nilai tersebut dapat tertanam dan berjalan dalam sebuah kehidupan masyarakat atau negara, demokrasi yang ideal kemungkinan dapat terwujud. Namun, dianutnya keenam nilai itu juga banyak ditentukan oleh sejarah dan budaya politik masing-masing masyarakat dan negara. Berikut ini penjabaran lebih konkret dari keenam nilai tersebut.

1.    Menyelesaikan Perselisihan secara Damai dan Melembaga
       Di dalam demokrasi, perselisihan dianggap hal yang wajar. Hal ini merupakan konsekuensi dari munculnya berbagai kepentingan yang seringkali saling berseberangan. Masyarakat atau negara yang demokratis harus mampu menyelesaikan setiap perselisihan atau konflik kepentingan secara damai melalui saluran atau lembaga yang tersedia.
       Perselisihan harus dapat diakhiri melalui sebuah kompromi, konsensus, atau kemufakatan. Untuk mencapai hal ini, perlu dilakukan perundingan dan dialog terbuka yang menyertakan seluruh atau sebagian besar pihak yang terlibat. Perundingan dan dialog melalui saluran atau lembaga yang tersedia dilakukan dengan lebih mengutamakan bahasa dan cara yang persuasif serta terhindar dari pemaksaan kehendak dan pemaksaan kepentingan.

2.    Menjamin setiap Perubahan dalam Masyarakat Berlangsung secara Damai melalui Kebijakan yang Terkendali
       Kehidupan atau tatanan masyarakat dari waktu ke waktu akan mengalamai perubahan. Perubahan terjadi sebagai akibat beberapa faktor, seperti perkembangan zaman dan kemajuan teknologi. Suatu masyarakat atau negara yang ingin terbebas dari kemandekan dan keterbelakangan serta sebaliknya hendak meraih kemajuan peradaban tidak dapat menghindarkan diri dari proses perubahan.
       Perubahan itu sendiri tidak jarang menimbulkan berbagai kerawanan dalam bentuk gejolak, keguncangan, gegar (keterkejutan), dan sebagainya. Bagaimanapun rawannya perubahan, dalam tatanan sosial, ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya harus diupayakan tidak terjadi chaos atau kekacauan yang mengancam perdamaian. Pihak-pihak yang memiliki kewenangan harus mampu mengatasi perubahan dengan kebijakan yang terkendali sehingga perubahan dalam masyarakat dan negara berlangsung aman serta tidak menimbulkan konflik yang memecah belah dan destruktif.


       3.    Menyelenggarakan Pergantian Pemimpin secara Teratur dan Damai
       Sebagai sebuah komunitas, masyarakat atau negara lazim memerlukan pemimpin. Di dalam sistem demokrasi, kepemimpinan tidak dilakukan secara otoriter atau diktator. Pemimpin tidak ditunjuk berdasarkan keturunan atau ditunjuk secara sepihak oleh sekelompok golongan berdasarkan kepentingan tertentu, melainkan dipilih melalui suatu pemilihan umum (pemilu).
       Jabatan pemimpin juga tidak dipegang secara mutlak atau absolut. Menurut mekanisme demokrasi, jabatan pemimpin dibatasi hanya untuk masa tertentu, biasanya maksimum dua kali periode, yang setiap periodenya empat atau lima tahun. Oleh sebab itu, dalam sistem demokrasi pergantian pemimpin berlangsung secara teratur (periodik); dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali. Adapun prosesnya dilakukan melalui pemilihan umum yang jujur, adil, dan damai.

       4.    Menekan Seminimal Mungkin Penggunaan Kekerasan
       Di dalam tatanan masyarakat atau negara lazim terdapat kelompok mayoritas dan minoritas. Dapat dimaklumi bahwa umumnya kelompok mayoritas mengambil bagian terbesar dalam kepemimpinan dan penyaluran aspirasi. Akan tetapi, kelompok minoritas pun diupayakan tidak mengalami penekanan dan penindasan. Kelompok minoritas tetap dilibatkan dalam berbagai proses pengambilan keputusan. Cara-cara kekerasan sekuat tenaga dihindari untuk dilakukan.


       5.    Mengakui dan Menghormati Perbedaan atau Keanekaragaman dalam Masyarakat
       Di dalam masyarakat yang majemuk (plural), biasanya terbentuk kepentingan yang beraneka ragam. Setiap kelompok masyarakat –– suku, agama, partai politik, dan sebagainya –– memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Dengan identitas atau atributnya, setiap kelompok berusaha memperjuangkan kepentingannya masing-masing.
       Demokrasi toleran terhadap kemajemukan dan perbedaan. Di dalam demokrasi, perbedaan tidak akan diberangus dan ditiadakan serta penyeragaman tidak akan dilakukan. Perbedaan justru diwadahi dan dipertahankan karena menjadi ciri khas yang memperkaya budaya dan kehidupan. Keaneragaman seringkali menjadi sumber kekuatan dan modal yang sangat berharga dalam meraih kemajuan peradaban.


       6.    Menjamin Tegaknya Keadilan
       Di dalam sistem demokrasi, pelanggaran keadilan relatif tidak banyak terjadi. Hal ini karena setiap kelompok atau golongan dalam masyarakat biasanya memiliki wakil di lembaga-lembaga resmi, terutama di lembaga perwakilan dan pemerintahan. Namun, pelanggaran keadilan bukannya tidak ada sama sekali. Pihak-pihak tertentu –– biasanya golongan minoritas –– seringkali merasa kurang mendapat perlakuan adil karena sedikitnya wakil mereka di lembaga resmi. Dalam sistem demokrasi, semua golong-an diupayakan untuk mendapat perhatian dan perwakilan. Representasi atau perwa-kilan tentu dilakukan berdasarkan populasi dan proporsi. Kelompok yang besar dan ma-yoritas lazim mendapat wakil yang banyak, sebaliknya kelompok-kelompok kecil dan minoritas mendapat wakil yang sedikit.